Pembangkit berbahan bakar batu bara dianggap mencemari lingkungan, menimbulkan polusi asap hitam, dan dampak kerusakan lingkungan lainnya. Meski tingkat polusinya relatif tinggi, peran batu bara belum tergantikan. Emas hitam itu adalah sumber energi yang paling murah dan cadangannya sangat besar di Indonesia.
Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy Noorsaman Sommeng, mengungkapkan bahwa saat ini lebih dari separuh pasokan listrik di Indonesia berasal dari pembangkit batu bara. Listrik dari batu bara juga sangat efisien harganya, cuma sekitar Rp 800/kWh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam bauran energi, batu bara masih 50%. Kalau ini ditekan, nanti ketersediaan listrik bagaimana? Gantinya apa? Apakah energi baru terbarukan bisa? Kita masih tergantung sama batu bara. Investasi energi baru terbarukan masih mahal, mempengaruhi daya saing kita," kata Andy kepada detikFinance, Selasa (12/9/2017).
Mau tak mau, Indonesia butuh listrik dari batu bara. Yang sekarang harus dilakukan bukan meniadakan listrik dari batu bara, tapi meminimalkan dampak lingkungannya. "Yang penting kan semuanya bisa dikontrol, batu bara terkontrol, gas terkontrol, minyak terkontrol," ucap Andy.
Lagipula, teknologi turbin uap dan generator PLTU sudah makin maju. Dengan teknologi ultra supercritical dan advanced ultra supercritical, makin sedikit polusi yang dihasilkan.
"Kalau di Jepang sudah ada advanced ultra supercritical. Lebih modern dari ultra supercritical. Itu sudah minim sekali dampak lingkungannya. Ada juga itu di Bali, PLTU Celukan Bawang, enggak kelihatan ada asapnya, enggak kelihatan tempat batu baranya. Lumba-lumba berenang di laut sekitarnya," ujarnya.
Pemerintah telah mendorong PLN dan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) untuk menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
"Kita mensyaratkan yang clean coal teknologi," tegas Andy. (mca/mca)