"Penyusunan RUEN juga harus memperhatikan kearifan lokal tanpa melepaskan diri dari perencanaan dan kebijakan energi secara nasional," ujar Jonan dalam keterangan tertulis dari Kementerian ESDM, Jumat (22/9/2017).
Hal itu disampaikan Jonan saat Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VII DPR yang digelar Rabu (20/9/2017). Selain RUEN, isu lainnya yang dibahas adalah mengganti BBM yang lebih ramah lingkungan dengan tanaman yang dapat berpotensi menjadi bahan bakar nabati pengganti bahan bakar minyak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM memaparkan dalam rangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional, diperlukan realisasi prinsip prioritas pengembangan energi nasional yang tercantum di pasal 11 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Prinsip prioritas tersebut menyebut beberapa poin. Pertama, memaksimalkan penggunaan energi terbarukan. Kedua, meminimalkan penggunaan minyak bumi. Ketiga, mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru. Keempat menggunakan batu bara sebagai andalan pasokan energi nasional. Kelima, memanfaatkan nuklir sebagai pilihan terakhir.
Kemudian dalam PP tersebut secara jelas menyatakan bahwa visi pengelolaan energi nasional di masa yang akan datang akan lebih banyak berasal dari energi baru terbarukan (EBT) yang secara simultan diharapkan mampu menjadi tulang punggung (back bone) energi nasional.
Saat ini EBT dalam bauran energi nasional baru kontribusinya baru sebesar 7,7 persen dengan total penyediaan energi sejumlah 197 Million Tonnes Of Oil Equivalent (MTOE).
Dalam kondisi elektrifikasi masih di angka 92,8 persen listrik yang dihasilkan per kapita setiap tahun dari sektor EBT baru mencapai 865 kWh. Itupun dari kapasitas pembangkit EBT hanya sekitar 8 GW dari total 55 GW.
Dalam proyeksi RUEN diharapkan EBT dapat menjadi modal pembangunan untuk mencapai kemandirian energi. Pada 2025 bauran energi EBT diharapkan sudah mampu mencapai angka 23 % dengan penyediaan energi sebesar 400 MTOE dan kamampuan menghasilkan listrik sebesar 2.500 kWh per kapita setiap tahun.
Kemudian di tahun 2050 EBT sudah secara konsisten berkontribusi sebesar 31 % dari total bauran energi nasional dengan kapasitas penyediaan energi sebesar 1.012 MTOE, kapasitas pembangkit lebih dari 167 GW dan mampu menghasilkan listrik 7000 kWh per kapita setiap tahun.
Untuk mencapai itu semua, secara umum ada sejumlah kebijakan pengembangan EBTKE yang terus dilakukan. Pertama, menambah kapasitas terpasang pembangkit/produksi energi. Pertumbuhan energi berkisar 8 persen per tahun, diperlukan penambahan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan energi.
Kedua, menambah penyediaan akses terhadap energi modern untuk daerah terisolir jaringan PLN, khususnya di daerah-daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan.
Penyediaan listrik/energi perdesaan yang tengah dikembangkan melalui pemanfaatan mikro hidro, surya, biomassa, biogas dan tenaga angin.
Ketiga, mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, penggunaan bahan bakar dari EBT antara lain BBN dan Biogas. Keempat, kampanye penghematan energi nasional, menghemat energi sebesar 1 kWh lebih murah dan mudah dibandingkan dengan memproduksi energi sebesar 1 kWh.
Kelima, mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), serta peningkatan efisiensi energi dan pemanfaatan energi baru terbarukan meminimalkan emisi GRK. (ega/hns)