Salah seorang warga Desa Ampekale, Sitti Sadariah mengatakan, sejak dua minggu terakhir, tidak ada satupun warung yang menjual gas elpiji di dua desa pesisir itu. Merekapun terpaksa menggunakan kayu bakar untuk memasak.
"Mau tidak mau, kita menggunakan kayu bakar. Karena tidak satupun warung yang menjual tabung sejak dua minggu terakhir," katanya saat ditemui, Kamis (7/12/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Selain langka, kata dia, harga tabung gas elpiji juga melonjak dari Rp 17 ribu menjadi Rp 25 ribu per bijinya. Olehnya, warga lebih memilih untuk beralih ke kayu bakar.
"Kalau kita mau cari keluar desa, harganya juga sangat mahal sekali. Jadi tidak pilihan lain untuk kita tetap bisa memasak selain kayu bakar," lanjutnya.
Tak sampai di situ, peralihan dari gas ke kayu bakar ini, tidaklah mudah bagi warga. Curah hujan yang masih tinggi membuat warga juga kesulitan mendapatkan kayu bakar untuk memasak.
"Kami kadang hanya bisa mengambil kayu-kayu bekas milik warga yang sudah dibuang. Kalau mau menebang, susah karena harus jemur dulu, sementara musim hujan," keluhnya.
Baca juga: Elpiji 3 Kg Langka di Mana-mana |
Sementara itu, Kepala Desa Ampekale, Abdul Rahim mengaku tidak bisa berbuat banyak. Ia berharap, pihak terkait bisa mengatasi kelangkaan gas tersebut.
"Di daerah pesisir ini, kami kesulitan air, sekarang pas musim hujan malah kesulitan dapat tabung gas dan juga kayu bakar. Kami berharap pihak terkait bisa segera mengatasi kelangkaan ini," ujarnya. (dna/dna)