Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira mengatakan alokasi subsidi energi yang bertambah ini akan membuat APBN mengorbankan salah satu posnya. Hal ini pun berpotensi membuat penggunaan APBN tidak lagi efektif padahal di satu sisi pemerintah sejak awal ingin mengurangi alokasi belanja untuk kegiatan yang tidak produktif seperti subsidi energi.
"Demi jaga harga BBM subsidi dan listrik stabil maka belanja subsidi energinya akan naik signifikan atau terpaksa dibebankan ke Pertamina. Pilihan ini menjadi kurang sehat dan tidak sustainable bagi APBN," katanya kepada detikFinance saat dihubungi, Rabu (11/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Target menang pemilu jangka pendek tapi mengorbankan APBN. Tiga tahun terakhir subsidi BBM nya dipangkas katanya untuk bangun infrastruktur. Akibatnya kan jelas daya beli masyarakat merosot, baru tahun ini subsidi BBM dan listrik mau ditambah lagi. Ada inkonsistensi kebijakan fiskal di situ. Pengaruhnya bisa macam-macam, salah satunya kredit rating bisa di-downgrade. Kepercayaan investor juga menurun," kata Bima.
Dengan kondisi seperti itu, jika ingin tetap mempertahankan harga BBM subsidi dan tarif listrik maka pemerintah perlu memangkas salah satu pos belanja, seperti infrastruktur.
Belanja infrastruktur yang sebesar Rp 410 triliun harus dirasionalisasi alias disunat dengan cara mengevaluasi semua proyek mana yang bisa didanai dengan APBN dan mana yang harus ditunda.
"Sisa dari pemangkasan belanja infrastruktur bisa menambah subsidi energi. Sehingga defisit nya bisa terjaga. Pemerintah harus memilih membangun infrastruktur tapi multiplier effect-nya lama dan tidak menyerap tenaga kerja secara optimal, atau menjaga daya beli masyarakat dengan pertahankan harga BBM dan listrik subsidi? Saya kira opsi kedua yang paling mendesak," pungkasnya.