"Bisa saja ( MOS) masuk daftar hitam, tapi harus dikenakan denda dulu atas keterlambatan penyerahan kapal," kata Direktur Eksekutif Indonesian Resources (IRESS), Marwan Batubara di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Ia menjelaskan, keterlambatan penyerah kapal pesanan itu berpotensi merugikan keuangan PT Pertamina dan masyarakat pengguna jasa angkutan tersebut juga terganggu akibat pasokan BBM terganggu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti yang dikutip dari Laporan Keuangan Auditan Soechi, MOS sedang membangun 3 kapal tanker untuk PT Pertamina (Persero), 1 kapal perintis untuk Satuan Kerja Peningkatan Keselamatan Lalu Lintas Angkutan Laut Pusat dan 2 kapal kenavigasian untuk Satuan Kerja Pengembangan Kenavigasian Pusat.
Konstruksi masih di tengah jalan, dengan persentase kemajuan konstruksi 3 kapal tanker sebesar 98.18%, 71,08% dan 61,20%; kapal perintis sebesar 88.29%; dan kapal kenavigasian telah selesai namun belum diserahkan.
Perjanjian dengan Pertamina malah sudah diperpanjang hingga 2 kali dikarenakan PT Multi Ocean Shipyard tidak dapat menyelesaikan pembangunan kapal tepat waktu.
Dalam perjanjian awal, penyerahan kapal seharusnya terjadi pada tanggal 7 Juni 2015 dan 7 Mei 2016. Ketiga perjanjian tersebut kemudian diperpanjang sampai dengan 31 Mei 2017, yang kemudian diperpanjang lagi hingga 30 Mei 2019.
Padahal, satu-satunya pemesan swasta, PT Lautan Pasifik Sejahtera, yang merupakan pihak terafiliasi malah membatalkan kontraknya dengan MOS karena kapal yang dipesan telah molor bertahun-tahun.
Sementara itu, Pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 mengenai Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan, Penyedia Barang/Jasa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu per seribu) dari nilai Kontrak atau nilai bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan. Denda tersebut, jika dikalkulasi akan mencapai angka puluhan juta dolar.
Asal tahu saja,nilai kontrak kepada dua pemesan itu mencapai USD69,2 juta. Sayangnya, dengan keterlambatan itu, Pertamina berpotensi mengalami pembengkakan biaya operasional karena membayar sewa USD 12 ribu per hari atau USD35,08 juta. Sedangkan Hubla berpotensi mengeluarkan US$ 3.000 perhari atau US$ 1,88 juta dalam tiga tahun.