Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menerangkan, ada beberapa cara untuk mengatasi rupiah yang keok lawan dolar Amerika Serikat (AS). Pertama, dengan memberikan insentif pada investor yang tidak menarik dividennya untuk kemudian diinvestasikan kembali di dalam negeri.
"Jadi kalau uangnya tidak ditarik sebagai deviden, tapi dia re-invest, pemerintah bisa kasih tax break. Jadi misalnya ada keuntungan, kalau dia ambil devidennya dia harus bayar pajak. Tapi kalau dia reinvest lagi, dia bisa dikasih tax break," jelas Chatib Basri di sela-sela acara Economic Outlook 2019 yang dihadiri para ekonom di kawasan Kuningan Jakarta, Rabu (3/10/2018)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian insentif untuk ekspor oriented labor insentive. Jadi kalau manufacturing ekspor yang padat karya saya nggak tahu berapa, 30% insentif ekspor. Sebenarnya sudah dilakukan di 2013," ujarnya.
Ketiga, memberikan kemudahan investasi untuk tujuan ekspor. Pelaku usaha yang impor diberikan insentif karena barang yang diimpor digunakan untuk ekspor lagi.
"Lalu KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) itu adalah kemudahan investasi untuk tujuan ekspor. Jadi, kalau orang impor suruh bayar impor duty atau PPN ini enggak dikenakan karena tujuan ekspor," ujarnya.
Chatib mengaku tak tahu apakah kebijakan itu masih diterapkan. Dia bilang, jika masih ada maka ukuran insentifnya perlu diperbesar.
"Itu dilakuin di 2013. Apakah ini masih berlaku, kalau masih berlaku itu sizenya dibesarin," tambahnya.
Menurut Chatib, kebijakan yang pernah ia terapkan mampu menyelamatkan Indonesia dari gejolak taper tantrum atau saat Bank Sentral Amerika Serikat (AS) mengumumkan kebijakan moneternya 2013 lalu. Kebijakan yang ia keluarkan mampu membuat rupiah stabil dalam 6 bulan.
"6 bulan itu kita stable. Indonesia selamat dari taper tantrum sama India dalam waktu 6 bulan. Mulai itu Juni, Juli, Januari, Februari 2014 rupiah stable di 11.000," tuturnya. (hns/hns)