Selain itu Bank Sentral Eropa (ECB) juga mengeluarkan peringatan akibat merosotnya ekspor dan impor China pada bulan Februari lalu.
Harga minyak Brent tercatat US$ 65,83 barel turun 47 sen atau 0,7% dari penutupan. Lalu harga minyak di West Texas Intermediate (WTI) berada di harga US$ 56,32 per barel atau turun 34 sen dari penutupan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data biro statistik China, ekspor negeri tirai bambu itu pada Februari mengalami penurunan hingga 21% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini di bawah ekspektasi para analis. Kemudian impor tercatat mengalami penurunan sebesar 5,2%.
Akhir tahun lalu negara anggota OPEC telah memutuskan untuk mengurangi produksi. Namun langkah ini terganggu karena pasokan minyak mentah AS meningkat hingga lebih dari 2 juta barel per hari menjadi 12,1 juta barel per hari sejak awal 2018.
Sejumlah analis menyebut jika AS berpotensi menyusul Arab Saudi sebagai negara pengekspor minyak terbesar di dunia.
"Jika dilihat dari sisi geopolitik, ini sangat penting. AS akan menjadi pengekspor minyak mentah lebih banyak dibandingkan Arab Saudi," ujar Konsultan Rystad Energi. Misalnya, AS berpotensi menyuplai gas alam cair.
"Kerajaan (Saudi) saat ini mengekspor minyak mentah sekitar 7 juta barel per hari, ditambah 2 juta LNG dan produk minyak bumi. Tapi AS saat ini sudah mengekspor 3 juta barel minyak mentah, 5 juta barel LNG dan produk minyak bumi," jelas dia.
Rystad memprediksi produksi minyak AS ini akan membuat lonjakan pada ekspor AS dan memberikan manfaat besar untuk negara adidaya ini, misalnya defisit neraca perdagangan yang berkurang.