Budi menjelaskan, kebutuhan batu bara untuk 5 tahun ke depan akan meningkat pesat. Dia mencontohkan, Inalum lewat anak usahanya saja PT Bukit Asam (PTBA) membutuhkan banyak batu bara untuk pembangkit listrik dan produk lainnya.
"Kami sesudah menjalani ini, contohnya batu bara kami menyadari 5 tahun ke depan, sekarang Bukit Asam produksi 25 juta ton batu bara per tahun. Dalam 5 tahun ke depan kita akan membangkitkan listrik yang membutuhkan 11 juta ton batu bara per tahun. Kita akan membangun pabrik syngas, metanol, dan DME yang membutuhkan 13 juta ton batu bara per tahun," jelasnya di Komisi VII DPR Jakarta, Senin (8/7/2019).
"Akibatnya dalam 5 tahun ke depan yang tadinya ekspor 25 juta ton, kita akan serap 24 juta ton dari ore ini untuk mengubah jadi listrik dan syngas dan metanol. Akibatnya pak, pabrik yang kita bangun butuh kontinu supply selama minimal 30 tahun, idealnya 30-50 tahun," sambungnya.
Dia mengatakan, Inalum sendiri sedang menghitung cadangan bahan baku. Dia bilang, jika semua itu dihabiskan maka tidak bisa dinikmati anak cucu.
Budi menambahkan, masalah serupa tidak hanya untuk batu bara, melainkan pada bahan baku lain.
"Hal sama kita alami di nikel, kita sekarang ekspor barang mentah dekati 3 juta ton per tahun. Perhitungan kita kalau mau bangun pabrik stainless steel kita butuh 5 juta ton," ujarnya.
Kedua, Budi menyebut untuk hilirisasi butuh dukungan dari pemerintah. Hal itu sebagaimana yang dilakukan di negara lain seperti China.
"Kedua usulan kami, pengalaman teknologi processing sangat susah berkompetisi karena tidak lain di subsidi negara, negara-negara seperti China itu research and development hilirisasi dibantu penuh oleh negara dan perguruan tinggi sehingga jauh lebih cepat maju," paparnya.
Ketiga, dia menyebut untuk hilirisasi membutuhkan energi yang besar. Untuk pengolahan aluminium butuh 14.000 kWh per ton dan tembaga 10.000 kWh per ton.
"Indonesia diberkati punya potensi air, pembangkit listrik yang paling murah. Jadi memang kami butuh dari dukungan pemerintah potensi bisa dialokasikan untuk pembangunan industri hilirisasi minerba jadi global positioning kita di dunia jadi lebih murah," paparnya.
Terakhir, dia menyebut untuk hilirasi butuh kebijakan fiskal yang menyeluruh.
"Keempat, ini membutuh integrasi kebijakan fiskal bagi industri, sebagai contoh Pak Bambang Gatot pasti dikasih target Bu Menteri Keuangan, royalti sebesar-besarnya. Tapi kalau kami akan invest industri hilir, kami ingin batunya dijual khusus untuk industri hilir mendapatkan insentif fiskal karena pemerintah mendapat pajak, naik PPn atau PPh yang jauh lebih besar objeknya dari produk hilirnya," ungkapnya.
Baca juga: 2019, Aset Inalum Mencapai Rp 162 Triliun |
Simak Video "Momen Gubernur Jambi Marahi Sopir Truk Batu Bara yang Melintas Siang Hari"
[Gambas:Video 20detik]
(fdl/fdl)