Salah satunya ialah ketergantungan masyarakat terhadap energi fosil. Arcandra menilai masih banyak peralatan dan perlengkapan sehari-hari yang belum bisa digantikan oleh EBT.
"Misal semua transportasi pakai listrik, baju kita dari bahan apa? Petrochemical semua. Petrochemical itu bahan dasarnya apa? Gas dan kondensat," kata Arcandra di depan mahasiswa baru UNS, Rabu (14/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, saat ini produk EBT masih cenderung mahal dibandingkan energi fosil. Dia membandingkan penggunaan batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih terjangkau dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
"Penggunaan batu bara kita untuk PLTU mencapai 50 persen. Kita pakai batu bara karena lebih terjangkau. Karena kita butuh energi yang terjangkau untuk memenuhi target 99 persen elektrifikasi rumah tangga tahun ini," kata dia.
"Apa kalian mau pakai EBT tapi tagihan listrik naik? Makanya kita butuh keseimbangan antara renewable dengan PLTU yang harga listriknya terjangkau," katanya.
Saat ini, kata Arcandra, penggunaan EBT di Indonesia masih 12 persen. Dia menargetkan penggunaan EBT mencapai 23 persen pada 2025 nanti.
"Sekarang kita dorong penggunaan semua jenis EBT, angin, geotermal, air, matahari. Lalu kapan kita mencapai 100 persen? Kita lihat dulu bisakah kita mencapai 23 persen pada 2025," pungkasnya.
(bai/hns)