"Dari pendapatan penjualan batu bara domestik sebesar 53%, penjualan batu bara ekspor sebesar 45% dan aktivitas lainnya sebesar 2% yang terdiri dari penjualan listrik, briket, minyak sawit mentah, jasa kesehatan rumah sakit dan jasa sewa," ujar Sekretaris Perusahaan Suherman, dalam keterangan tertulis, Senin (16/9/2019).
Menurutnya, pendapatan usaha ini dipengaruhi oleh harga jual rata-rata batu bara yang turun sebesar 6,8% menjadi Rp 778.821/ton dari Rp 835.965/ton di semester I 2018.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Harga Batu Bara Turun, Bukit Asam Efisiensi |
Penurunan tersebut disebabkan oleh pelemahan harga batubara Newcastle sebesar 38% maupun harga batu bara thermal Indonesia, Indonesian Coal Index (ICI) GAR 5000 sebesar 26% dibandingkan harga rata-rata Semester I 2019.
"Sementara, beban pokok penjualan hingga paruh 2019 ini tercatat sebesar Rp 6,96 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 13% dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 6,14 triliun," sebutnya.
Komposisi dan kenaikan terbesar tersebut, dikatakannya, terjadi pada biaya angkutan kereta api seiring dengan peningkatan volume angkutan batubara dan kenaikan biaya jasa penambangan dengan peningkatan produksi dan peningkatan stripping rasio pada semester pertama 2019 sebesar 4,6 dari 4,3 pada semester 1 2018.
"Dengan pendapatan dan peningkatan biaya tersebut, membuat pencapaian laba bersih perseroan menjadi sebesar Rp 2,01 triliun dengan EBITDA tercapai sebesar Rp 3,19 triliun," jelasnya.
Baca juga: Holding BUMN Tambang Ganti Nama Jadi MIND ID |
Sementara itu, aset perseroan per 30 Juni 2019 mencapai Rp 23,41 triliun dengan komposisi terbesar pada aset tetap sebesar 29% dan kas setara kas sebesar 23%. Ini di luar deposito dengan jangka waktu lebih dari enam bulan yang dimiliki perseroan saat ini sebesar Rp 5,29 triliun, turun 16% per 31 Desember 2018 sebesar Rp 6,30 triliun.
Adapun total liabilitas perseroan per sebesar Rp 7,16 triliun yang 60% di antaranya merupakan liabilitas jangka pendek. Total liabilitas tersebut turun dibandingkan liabilitas per 31 Desember 2018.
Kondisi ini menyebabkan cash ratio atau cash and equivalent terhadap liabilitas jangka pendek perseroan menjadi 122%, yang berarti perseroan memiliki likuiditas kuat atau sangat mampu memenuhi liabilitas jangka pendek tepat waktu.
(prf/hns)