Menurut Senior Vice President Research & Technology PT Pertamina, Dadi Sugiana, saat ini pihaknya telah mengimplementasikan biofuel dengan kandungan B20 dan B30. Kemudian terkait B50, diakuinya masih ada beberapa persoalan yang masih perlu dikaji.
"Dalam pengembangan Biofuel ini, Pertamina mulai dengan riset dasar, lalu mengembangkan uji coba produksi, dan kita komersialisasi. Kita menggabungkan fit itu adalah minyak sawit diolah yang bisa menghasilkan green diesel, green gasoline dan green avtur, yang tentunya dengan proses yang berbeda. Pada B50 ini, ada persoalan kualitas terkait kualitasnya yang kemungkinan kurang kompatible," ujar Dadi, di sela-sela kegiatan Pertamina Energy Forum, Rabu (27/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Mantap! B20 Mampu Hemat Devisa Rp 35 T |
Ke depannya untuk B50, lanjut Dadi, pengembangan B50 ini berpotensi menjadi sebuah tantangan. Penerapan mandatori biodiesel 50 persen (B50) pada akhir 2020 dihadapkan pada potensi kurangnya pasokan unsur nabati atau fatty acid methyl ester (FAME).
Karena secara keseimbangan saat ini Indonesia sudah tidak impor diesel lagi begitu masuk B20. Namun di sisi lain, ada peluang tersendiri dari sisi bahan bakar jenis solar yang bisa menjadi lebih baik kualitasnya.
"Masuk B30, maka mungkin kita harus menyesuaikan produksi di kilang. Tapi di sini ada peluang, biarkan B50 jalan, tapi solar yang kita produksi bisa diekspor. Ini bisa menjadi salah satu opsi juga yang kita pertimbangkan," ujarnya.
Dadi pun menegaskan, pada prinspipnya Pertamina siap untuk masuk ke B50, dan di sisi lain ada peluang lain di mana kualitas solar yang akan lebih baik. Sehingga bisa berpotensi untuk diekspor ke luar negeri.
"Prinsipnya kita siap dengam B50, namun nanti kita akan sinergikan dengan program euro 4 di mana kualitas solar kita bisa sesuai dengan euro 4 agar bisa diekspor ke luar," imbuhnya.
(akn/mpr)