Abdul menilai, tidak ada pertumbuhan yang signifikan dari pelanggan listrik terhadap program 35.000 MW ini.
"Saya sebenarnya melihat program ini (35.000 MW) terlalu ambisius. Saya tidak melihat pertumbuhan pelanggan listrik yang sangat signifikan. Coba bayangkan berapa sih pertumbuhan tenaga listrik konsumsi kita terhadap program ini?," tanya Abdul di Komisi VII DPR RI, Rabu (5/2/2020).
Abdul mengingatkan, jangan sampai begitu program ini selesai malah merugikan PT PLN (Persero). Ia pun menyarankan agar konsumsi listrik juga didorong untuk industri karena penyerapan konsumsi dari rumah tangga saja tidak besar.
"Jangan nanti begitu selesai 35.000 MW ini PLN mengalami kerugian karena tidak ada pemakainya, karena ini harus dibiayai semua. Menurut saya perlu ada semacam roadmap. Sebenarnya memang kebutuhan kita 35.000 MW kalau industrinya berjalan normal, tumbuh sekian. Nah kalau hanya pelanggan rumah tangga seperti yang bapak targetkan ini pasti tidak akan bisa. Menurut saya harus industri yang lebih besar," ucapnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Anggota Komisi VII dari Fraksi Gerindra Hari Purnomo. Ia menilai penyelesaian program 35.000 MW ini lambat. Sampai saat ini, progres pembangunan 35.000 MW baru mencapai 19,8%.
"Saya melihat PLN beban kerjanya luar biasa dan sistem yang sekarang ini tidak bisa mengimbangi penugasan itu. Terbukti penyelesaian 35.000 MW ini juga termasuk lambat karena terlalu sentralistik," tuturnya.
Lalu, kapan proyek listrik 35.000 MW selesai?
Penyelesaian proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) lagi-lagi mundur. Megaproyek kelistrikan yang sudah digagas sejak tahun 2015 ini ditargetkan baru bisa kelar 2029.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana mengatakan per Desember 2019 realisasi pembangkit 35.000 MW baru beroperasi 6.811 MW atau 19,8%. Sampai akhir 2020, ditargetkan kapasitas yang terbangun baru bisa 15.634 MW.
Rida menjelaskan, salah satu penyebab molornya proyek ini karena realisasi pertumbuhan ekonomi saat ini lebih rendah daripada asumsi sebelumnya.
"Program 35.000 MW dulu dirancang dengan asumsi pertumbuhan ekonomi berkisar 7-8%. Pertumbuhan listrik 1,2 kali. Sementara pertumbuhan ekonomi sekarang sekitar 5%, kenyataan seperti itu. Tapi memang ada perlambatan sampai 2029. Kan prediksi awal pertumbuhan ekonomi," kata Rida di Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (5/02/2020).
Namun, Rida justru menilai mundurnya megaproyek 35.000 MW ini sebagai keberuntungan. Dengan begini, PLN bisa mencari pasar baru karena permintaan dari listrik saat ini rendah.
"Malah pertumbuhan listriknya cuma 4,5%, untung saja lambat, kalau nggak babak belur," ucapnya.
(ang/ang)