Pukulan Telak yang Bikin Pertamina Rugi Rp 11 T

Pukulan Telak yang Bikin Pertamina Rugi Rp 11 T

Danang Sugianto - detikFinance
Selasa, 01 Sep 2020 06:40 WIB
Kantor Pertamina
Foto: Danang Sugianto/detikFinance
Jakarta -

Kinerja keuangan PT Pertamina (Persero) sepanjang semester I-2020 begitu mengecewakan. BUMN ini mengalami kerugian US$ 767,92 juta atau setara Rp 11,13 triliun (kurs Rp 14.500/US$).

Pihak Pertamina berdalih kerugian itu disebabkan oleh hantaman pandemi COVID-19.Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini menjelaskan, ada 3 pukulan telak atau triple shock dari pandemi COVID-19.

1. Penjualan Anjlok

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama cashflow Pertamina turun tajam akibat penjualan yang menurun drastis. Pada Desember 2019 penjualan pertamina mencapai 7,8 ribu KL, kemudian berangsur turun di Januari 2020 7,5 ribu KL, Februari 2020 7,1 ribu KL, Maret 2020 7 ribu KL, April 2020 6 ribu KL, Mei 2020 6,21 ribu KL dan Juni 2020 6,64 ribu KL.

"Gejala ini tidak pernah terjadi pada masa krisis terdahulu, di masa pandemi COVID-19 signifikan sekali. Sehingga revenue kita terdampak berapapun crude price sangat rendah. Karena demand tidak ada, maka tidak berdampak berdampak ke revenue kita," terangnya saat RDP dengan Komisi VII, di gedung DPR, Jakarta, Senin (31/8/2020).

ADVERTISEMENT

2. Fluktuasi Rupiah

Pukulan kedua adalah fluktuasi nilai tukar rupiah. Tercatat dolar AS di akhir 2019 di posisi Rp 13.900, lalu pada masa pandemi terus meroket hingga tembus Rp 16.000 lebih.

"Kita sangat terdampak sekali, karena buku kita dalam dolar AS, sementara revenue kita dalam rupiah. Kita belanja crude dengan dolar AS, sehingga sangat terdampak sekali. Ini yang menyebabkan secara buku kita mengalami rugi selisih kurs yang sangat tajam," terangnya.

3. Anjloknya Harga ICP

Pukulan ketiga, penurunan harga minyak mentah Indonesia atau ICP yang menjadi acuan Pertamina. Penurunan harga justru membuat Pertamina memiliki tambahan beban, sebab yang terjadi justru adanya tumpukan stok karena turunnya konsumsi BBM jenis tertentu.

"Seperti di April dan Mei itu Avtur kita stoknya bisa sampai 400 hari, dari sisi solar juga sama. Itu jadi memakan inventory cost, sementara revenue tidak ada. Jadi kita nggak enjoy penurunan ICP," kata Emma.

Dia juga menjelaskan, beberapa kilang Pertamina juga masih mengkonsumsi crude dengan harga yang masih mahal lantaran adanya lag sekitar 2-3 bulan ke belakang.

"Jadi kalau kita lihat 6 April ICP-nya US$ 21 per barel namun kilang kita konsumsi crude price yang harganya US$ 57 per barel. Jadi harga pokoknya masih mahal, tapi harga jualnya sudah rendah, karena harga jual mengikuti ICP terkini," tutupnya.




(das/fdl)

Hide Ads