Indonesia pernah memiliki perusahaan minyak dan gas (migas) pada 1961 yang berada dalam kendali Partai Komunis Indonesia (PKI). Perusahaan itu bernama Pertambangan Minyak dan Gas Nasional (Permigan).
Dikutip dari berbagai sumber, perusahaan tersebut tidak bisa bersaing terbukti dari produksinya yang terus menurun. Hampir semua lapangan minyak yang dikelola Permigan menghasilkan minyak yang mengecewakan.
Cadangan minyak di kilang-kilang Permigan hampir habis. Produksi Permigan dari tertinggi 2.700 barel per hari pada 1963, merosot menjadi hanya 1.800 barel per hari pada 1965. Susunan organisasi Permigan yang dirombak pada 1964 nyatanya tidak bisa memperbaiki produksi perusahaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Kisah Kontroversi Permigan dengan Palu Arit |
Di tengah kondisi itu, Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam) Chaerul Saleh sebagai pelindung perusahaan menunjuk Ibnu Sutowo yang sebagai Direktur Utama Pertambangan Minyak Nasional (Permina) untuk menggantikan posisinya sementara menangani Departemen Migas. Sebab, saat itu dia harus menghadiri undangan ulang tahun Republik Rakyat China (RRC) pada 1 Oktober 1965.
Tanpa sepengetahuan Chaerul Saleh, pada 12 Oktober 1965 Ibnu Sutowo membubarkan jajaran direktur Permigan dan menggantinya dengan pimpinan sementara. Di bawah kendalinya, dia melarang PKI terlibat dalam industri perminyakan.
Setelah dicopot, jajaran direktur Permigan seperti Soemarjo Legowo, Kusumo Utojo, dan Maladi Jussuf, ditangkap. Sepulang dari RRC, Chairul Saleh juga ditangkap dan meninggal dunia karena serangan jantung di Rumah Tahanan Militer.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Simak Video "Hari Lingkungan Hidup 2025: Pertamina Tampilkan Teknologi Ramah Lingkungan dari Desa"
[Gambas:Video 20detik]