Banyak orang kehilangan pekerjaan karena kena dampak dari pandemi COVID-19. Hal itu berlaku juga pada sektor minyak dan gas (migas).
Mengutip CNN, Kamis (8/10/2020), sebanyak 107.000 pekerja sektor migas di Amerika Serikat (AS) di PHK antara Maret hingga Agustus 2020. Hal itu berdasarkan data Deloitte.
Tingkat pemutusan kerja ini tercepat sepanjang sejarah. Bahkan, itu tidak termasuk yang cuti dan pemotongan gaji.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam laporan itu disebutkan, sebagian besar pekerja itu tidak akan kembali dalam waktu dekat. Bahkan, jika harga minyak berada di level US$ 45 per barel hingga 2021. Sebanyak 70% pekerjaan yang hilang tidak akan kembali hingga akhir tahun depan berdasarkan analisis Deloitte.
"PHK skala besar seperti itu," tulis laporan Deloitte.
Baca juga: Demo Omnibus Law Ricuh, Rupiah Terpengaruh? |
"Menantang reputasi industri sebagai perusahaan yang dapat diandalkan," bunyi laporan Deloitte lebih lanjut.
Keuntungan industri migas sendiri kini lebih erat kaitannya dengan harga komoditas. Perubahan US$ 1, naik atau turun harga minyak AS berpotensi berdampak pada 3.000 pekerjaan jasa hulu dan ladang minyak, dibandingkan dengan 1.500 pekerjaan di tahun 1990-an.
Pergeseran ini mencerminkan bangkitnya shale yang menjadikan AS sebagai produsen minyak dan gas alam terbesar di dunia pada tahun 2012. Tidak seperti proyek migas tradisional, shale dianggap bersifat jangka pendek karena dapat dinaikkan atau diturunkan berdasarkan perubahan harga fluktuasi, yang mempengaruhi keputusan perekrutan dan pemberhentian.