Turki dan Yunani tengah berseteru karena persoalan eksplorasi sumber gas di perairan Mediterania. Perseteruan itu berawal ketika Turki melakukan eksplorasi sumber gas di Laut Tengah, kemudian Yunani menentangnya. Uni Eropa (UE) pun turun tangan menangani konflik ini.
Saat ini, UE tengah mempertimbangkan sanksi untuk Turki. Para petinggi negara-negara yang tergabung dalam UE akan menggelar pertemuan pada 10-11 Desember, dan akan membahas apakah Turki tetap dijatuhi sanksi atau bebas.
Dilansir dari Reuters, Senin (7/12/2020) perseteruan berawal pada Agustus 2020 lalu, ketika Turki mengirim kapal untuk eksplorasi Laut Tengah demi menemukan sumber energi di perairan yang diklaim juga oleh Yunani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Luar Negeri Yunani Nikos Dendias mengatakan semua negara UE menilai Turki tidak berupaya sedikitpun meredakan konflik dengan melanjutkan eksplorasi tersebut.
"Sudah jelas bahwa harus ada tindakan bagi Turki yang melanjutkan perilaku nakal. Itulah yang akan dibahas pada pertemuan para pemimpin Dewan UE," kata Dendias.
Jerman selaku pemegang kendali UE selama 6 bulan ini berharap untuk bisa menengahi kedua negara tersebut. Namun, Jerman tersulut amarah ketika Turki melanjutkan eksplorasinya di lepas pantai Republik Siprus pada Oktober lalu.
"Ada terlalu banyak provokasi, dan ketegangan antara Turki, Siprus dan Yunani telah mencegah pembicaraan langsung," kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas.
Langsung klik halaman berikutnya
Para petinggi UE meminta Turki untuk menghentikan eksplorasinya, atau mendapatkan konsekuensi atas tindakannya. Akhirnya, kapal Turki yang bernama Oruc Reis kembali ke pelabuhan pekan lalu demi meredakan ketegangan.
Akan tetapi, Presiden Dewan Eropa Charles Michel memperingatkan Turki untuk tidak bermain-main selayaknya tikus dan kucing. Ia menegaskan Turki harus berhenti menjalankan kapalnya ke Laut Tengah.
Di sisi lain, pada 26 November lalu Prancis dan dan Parlemen Eropa secara resmi menyerukan sanksi untuk Turki. Mereka mengatakan sudah waktunya untuk menghukum Turki, yang dipandang diBrus
sel (kantor pusat UE) sebagai pemicu perselisihan karena alasan politik dalam negeri. Mereka juga menilai Turki melakukan penyimpangan yang mengarah pada pemerintahan yang otoriter dan individualisme dari satu pemimpinnya. Hal ini pun semakin meningkatkan tensi UE terhadap Turki.
Meski ditentang keras, Presiden Turki Tayyip Erdogan mengatakan negaranya tidak akan tunduk pada ancaman dan pemerasan. Turki akan tetap berupaya memperoleh haknya atas sumber daya energi potensial di benuanya.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan, Yunani dan Siprus sedang 'menjilat' petinggi UE. Cavusoglu mendesak agar UE tidak berpihak, tapi berusaha menjadi penengah. Ia juga meminta agar Prancis dan negara lain tak ikut campur dalam konflik Turki dengan Yunani.
"Keputusan, sanksi atau apapun yang direncanakan itu, tidak akan menjadi solusi bagi masalah yang ada," kata Cavusoglu.
(hns/hns)