Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo sempat adu pendapat dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Hal tersebut gara-gara wakil bos perusahaan listrik negara itu menjadikan tingkat emisi karbon sebagai indikator kemakmuran.
Awalnya, Darmawan membandingkan jejak karbon (carbon footprint) Indonesia yang masih lebih kecil dibandingkan negara maju, misalnya saja Amerika Serikat (AS).
"Kalau kita lihat Kenapa di Amerika kok (emisi karbonnya) sampai 15 ton per kapita per tahun? karena di sana rumahnya itu besar-besar, menggunakan AC, mobilnya cc-nya besar-besar. Sedangkan di Indonesia kebanyakan orang rumahnya kecil-kecil, menggunakan kipas angin, kemudian kendaraannya motor," kata dia dalam webinar MGN SUMMIT 2021 SUSTAINABLE ENERGY, Kamis (28/1/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, untuk itu memang emisi karbon perkapita ini juga menjadi suatu indikator tingkat kemakmuran dari suatu negara tersebut. Coba kita bayangkan suatu ketika misalnya pendapatan negeri ini meningkat, semua orang rumahnya ber-AC, semua orang bisa beli mobil, tentu saja emisi karbonnya akan meningkat," sambungnya.
Pada kesempatan di acara yang sama, Arifin Tasrif pun menanggapi pernyataan Darmawan. Dirinya tak setuju jumlah emisi karbon sebagai indikator kemakmuran.
"Saya kurang sependapat dengan CO2 dipakai sebagai indikator kemakmuran, karena kenapa? Masa buangan dipakai sebagai indikator kemakmuran, mestinya inputan. Jadi, kalau electricity perkapita itu tinggi itulah tingkat kemakmuran yang besar, tingkat kemakmuran yang lebih baik," jelasnya.
Dan lagi, dia menjelaskan bahwa pencemaran emisi karbon bisa ditekan dengan menggunakan teknologi.
"Memang perlu adanya teknologi seperti carbon capture, utilization storage yang ini akan bisa dimanfaatkan untuk bisa menekan emisi CO2 ke atmosfer. Jadi, ini yang perlu kita sependapat bahwa tugas kita bersama untuk bisa mengurangi emisi nasional," tambahnya.