Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia membeberkan kerugian yang dialami dunia usaha saat Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) masuk daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3). Pengusaha batu bara bisa merugi antara Rp 50 miliar hingga Rp 2 triliun per tahun.
"Antara Rp 50 miliar sampai Rp 2 triliun per tahun," ungkap Hendra kepada detikcom, Jumat (12/3/2021).
Kerugian sebesar itu dikeluarkan perusahaan untuk membayar biaya penempatan limbah ke pengolah limbah. Menurut Hendra biaya mengolah limbah bisa begitu mahal karena perusahaan pengolah limbah di Indonesia sangat terbatas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengolah limbah kan cuma satu di Indonesia, di mana biaya penempatan limbahnya dan lain-lain itu kan sangat besar bagi perusahaan," katanya.
Padahal, limbah batu bara bila diolah sendiri orang perusahaan masing-masing bisa dimanfaatkan dan bernilai guna tinggi. Abu batu bara bisa dimanfaatkan sebagai penghemat pembangkit listrik hingga jadi bahan konstruksi.
"Batu bara digunakan untuk pembangkit listrik, pembangkit listrik kan digunakan oleh PLN, pembangkit listrik swasta dan industri-industri yang non PLN ada semen, pabrik kertas, pabrik plastik dan pabrik apa-apa lah menggunakan itu," ujarnya.
"Limbah-limbah itu bisa dimanfaatkan gitu loh, kalau mau dibuang atau ditempatkan itu biayanya tinggi sekali," timpalnya.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menghapus abu batu bara (FABA) dari daftar jenis limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3). Penghapusan FABA dari jenis limbah B3 itu tercantum dalam lampiran XIV Peraturan Pemerintah turunan UU Cipta Kerja (PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
(ara/ara)