Tak Cuma Infrastruktur, LPI Juga Lirik Sektor Energi Terbarukan

Tak Cuma Infrastruktur, LPI Juga Lirik Sektor Energi Terbarukan

Tim detikcom - detikFinance
Sabtu, 08 Mei 2021 19:35 WIB
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengajak Pemda untuk dapat mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Ilustrasi/Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) melirik pembiayaan energi baru terbarukan (EBT). Kebutuhan pembiayaan untuk sektor ini tidak bisa hanya mengandalkan APBN.

"Kebutuhan dana pembangunan infrastruktur begitu besar dan yang jelas tidak cukup dana itu bersumber hanya dari pemerintah," kata Dewan Pengawas IAN Darwin Cyril Noerhadi, Sabtu (8/5/2021).

Cyril menjelaskan, INA sebagai salah satu lembaga pelaksana investasi pemerintah diberikan beberapa kewenangan, yakni mengelola investasi, kemudian merencanakan, mengatur, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi kegiatan investasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pihaknya juga berupaya untuk menjadi mitra yang strategis dalam menarik dana investor asing untuk berinvestasi di Indonesia dan juga meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Sebab lembaga ini memiliki struktur organisasi yang professional dan memiliki SDM yang ahli dalam bidang keuangan, utamanya dalam investasi.

Ke depan terdapat beberapa sektor investasi jangka menengah dan jangka panjang yang akan dievaluasi oleh LPI, mulai dari sektor infrastruktur, pelayanan kesehatan, konsumer, teknologi, infrastruktur digital, logistik, waste management, pariwisata, dan termasuk juga renewable energy.

ADVERTISEMENT

"Pada tahapan awal ini, kami INA diberikan setoran modal awal sebesar Rp 15 triliun dan akan naik pada tahun depan menjadi Rp 75 triliun, ini diberikan untuk meningkatkan prinsip tata kelola dan operasionalisasi lembaga," ungkap Cyril.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan, ada beberapa upaya pemerintah dalam meningkatkan porsi sektor EBT di Indonesia yang telah diterapkan, seperti pengembangan biodiesel, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) co-firing dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Indonesia.

Selain untuk meningkatkan ketahanan energi, pengembangan EBT juga ditujukan untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia sesuai dengan perjanjian Paris Agreement tahun 2015.

"Indonesia sudah bergabung untuk upaya penurunan gas rumah kaca (GRK) ini. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo hadir di Paris Agreement dan menyampaikan komitmennya menurunkan emisi GRK hingga 29 persen di tahun 2030," kata Dadan.

Upaya lain dalam meningkatkan porsi EBT adalah dengan melakukan transisi energi yang juga dengan mempertimbangkan realitas kebutuhan energi, dengan nilai keekonomian yang wajar. Oleh karena itu, peralihan dari energi fosil menjadi EBT sangat diperlukan.

"Sekarang kita mempercepat upaya transisi energi untuk menggeser dari pemanfaatan energi fosil menjadi pemanfaatan energi terbarukan. Ini tidak hanya berdasarkan aspek ketahanan energi saja tapi juga berdasarkan siklus kegiatan ekonomi karena akan selalu diperhitungkan agar bisa bersaing," ujar Dadan.

Dadan menjelaskan, dalam upaya transisi pemanfaatan energi fosil ke EBT. maka penggunaan panel surya termasuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia perlu dipercepat. Menurutnya, saat ini pemerintah tengah gencar dalam pengembangan teknologi panel surya sebagai salah satu sumber energi yang terbarukan.

"Proyek yang sekarang kami dorong untuk mendapatkan investasi adalah PLTS atap skala besar. Selain itu, nanti PLTS terapung juga akan ditingkatkan, karena kita juga punya banyak waduk, punya banyak bendungan, ini mudah karena tidak perlu membebaskan lahan. Di beberapa tempat di Jawa ini potensinya bisa sampai 2 Giga Watt di 13 lokasi," ungkap Dadan.

Selain itu, Dadan mengungkapkan, upaya pemerintah meningkatkan porsi EBT di Indonesia adalah dengan mengubah teknologi pembakit yang ada, kepada energi terbarukan. "Jadi ini yang juga kita lakukan mendorong pembangkit yang ada untuk beralih dari energi fosil ke EBT, jadi bukan buat baru pembangkitnya, sekarang jadi dorongannya juga adalah bagaimana nanti ke depan pengembangan energi terbarukan melaksanakan efisiensi energi termasuk konservasi energi dan penerapan teknologi yang bersih," tegas Dadan.

Namun demikian, Dadan juga tidak memungkiri terdapat beberapa hambatan dan tantangan dari sisi pembiayaan yang terjadi di Indonesia dalam mengembangkan efisiensi energi dan transisi ke energi yang lebih bersih.

"Tantangan yang pertama adalah tarif rendah atau menciptakan iklim investasi yang menarik," ujarnya.

Tantangan lain, lanjut Dadan adalah bunga pinjaman yang tinggi, kemudian persyaratan agunan tinggi, tidak adanya pendanaan proyek, proyek berukuran kecil dan meningkatkan biaya transaksi, serta kapasitas pengembang proyek dan lembaga keuangan masih terbatas.

"Kemudian juga persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Bukan kami tidak mendukung TKDN, tetapi ini menjadikan harga komponen lebih mahal dibandingkan impor, yang terakhir adalah hambatan perizinan dan lisensi," pungkas Dadan.

Dalam diskusi The Ensight, Ketua Dewan Pengawas Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), Inka B. Yusgiantoro mengatakan kehadiran INA akan memberi harapan dan semangat baru bagi Indonesia khususnya untuk dapat membantu mobilisasi dana dari dalam maupun luar negeri untuk dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan investasi yang ada di Indonesia, termasuk di sektor energi baru dan terbarukan (EBT).

"Kami melihat bahwa salah satu penyebab terhambatnya pertumbuhan sektor EBT di Indonesia selama ini adalah sulitnya mendapatkan pembiayaan untuk proyek EBT. Sehingga salah satu harapan pemangku kepentingan Indonesia untuk alternatif sumber pembiayaan adalah melalui INA," ujar Inka.


Hide Ads