Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) melirik pembiayaan energi baru terbarukan (EBT). Kebutuhan pembiayaan untuk sektor ini tidak bisa hanya mengandalkan APBN.
"Kebutuhan dana pembangunan infrastruktur begitu besar dan yang jelas tidak cukup dana itu bersumber hanya dari pemerintah," kata Dewan Pengawas IAN Darwin Cyril Noerhadi, Sabtu (8/5/2021).
Cyril menjelaskan, INA sebagai salah satu lembaga pelaksana investasi pemerintah diberikan beberapa kewenangan, yakni mengelola investasi, kemudian merencanakan, mengatur, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi kegiatan investasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya juga berupaya untuk menjadi mitra yang strategis dalam menarik dana investor asing untuk berinvestasi di Indonesia dan juga meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Sebab lembaga ini memiliki struktur organisasi yang professional dan memiliki SDM yang ahli dalam bidang keuangan, utamanya dalam investasi.
Ke depan terdapat beberapa sektor investasi jangka menengah dan jangka panjang yang akan dievaluasi oleh LPI, mulai dari sektor infrastruktur, pelayanan kesehatan, konsumer, teknologi, infrastruktur digital, logistik, waste management, pariwisata, dan termasuk juga renewable energy.
"Pada tahapan awal ini, kami INA diberikan setoran modal awal sebesar Rp 15 triliun dan akan naik pada tahun depan menjadi Rp 75 triliun, ini diberikan untuk meningkatkan prinsip tata kelola dan operasionalisasi lembaga," ungkap Cyril.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan, ada beberapa upaya pemerintah dalam meningkatkan porsi sektor EBT di Indonesia yang telah diterapkan, seperti pengembangan biodiesel, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) co-firing dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Indonesia.
Selain untuk meningkatkan ketahanan energi, pengembangan EBT juga ditujukan untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia sesuai dengan perjanjian Paris Agreement tahun 2015.
"Indonesia sudah bergabung untuk upaya penurunan gas rumah kaca (GRK) ini. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo hadir di Paris Agreement dan menyampaikan komitmennya menurunkan emisi GRK hingga 29 persen di tahun 2030," kata Dadan.
Upaya lain dalam meningkatkan porsi EBT adalah dengan melakukan transisi energi yang juga dengan mempertimbangkan realitas kebutuhan energi, dengan nilai keekonomian yang wajar. Oleh karena itu, peralihan dari energi fosil menjadi EBT sangat diperlukan.
"Sekarang kita mempercepat upaya transisi energi untuk menggeser dari pemanfaatan energi fosil menjadi pemanfaatan energi terbarukan. Ini tidak hanya berdasarkan aspek ketahanan energi saja tapi juga berdasarkan siklus kegiatan ekonomi karena akan selalu diperhitungkan agar bisa bersaing," ujar Dadan.