Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM mendorong pengembangan biogas menjadi Biomethane-Compressed Natural Gas (Bio-CNG) dalam skala komersial sebagai bahan bakar transportasi dan difungsikan sebagai pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) untuk industri. Pengembangan Bio-CNG ini diharapkan dapat mempercepat peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna mengatakan Bio-CNG ini merupakan pemurnian biogas (pure methene) dengan memisahkan komponen karbon dioksida (CO2) dan karbontetraoksida (CO4) serta menghilangkan komponen gas impurities lainnya untuk menghasilkan gas metan dengan kadar di atas 95%.
"Karakteristik dari biometan ini menyerupai dengan CNG", kata Feby dalam keterangan tertulis, Jumat (9/7/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di acara webinar Bioshare Series #2 Pemanfaatan Biogas untuk Sektor Non-Kelistrikan di Indonesia, Kamis (8/7), dia menyebut Indonesia sebagai negara penghasil minyak sawit mentah dan sumber daya alam, punya potensi besar untuk memanfaatkan limbah CPO, limbah pertanian, dan peternakan menjadi biogas serta biomethane.
"Manfaatnya (Bio-CNG) cukup signifikan karena saat ini Indonesia masih mengimpor LPG dalam jumlah besar serta sumber bahan baku untuk memproduksi Bio CNG cukup beragam," jelasnya.
Dalam mendorong pengembangan bio-CNG, lanjut dia, Kementerian ESDM bersama dengan Global Green Growth Institute (GGGI) telah melakukan studi pasar pengembangannya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Diungkapkannya studi tersebut akan segera dilanjutkan dengan pendampingan teknis untuk persiapan implementasi pembangunan bio-CNG.
"Walau kita punya potensi bio-CNG cukup besar, tapi belum bisa berkembang komersial. Banyak tantangan yang menjadi tugas kita bersama, baik dari sisi kebijakan keekonomian, teknik, dan tata niaga," tandasnya.
Sementara itu, Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi, Efendi Manurung menyebut pengembangan Bio-CNG lebih difokuskan pada transfer teknologi. Sekaligus mendorong keterlibatan peneliti dan penggiat teknologi untuk berinovasi dalam pengembangan biogas.
"Untuk infrastruktur Bio-CNG saat ini relatif belum ada, belum terimplementasikan, tetapi kita masih tahap koordinasi mendorong, memfasilitasi, dan menyusun regulasi yang berkaitan dengan percepatan implementasi pemanfaatan Bio CNG", ujar Efendi.
Ke depan, apabila dibutuhkan infrastruktur untuk implementasi Bio CNG tersebut terdapat peluang untuk dilakukan. Di samping itu, menurutnya pembangunan jaringan gas (jargas), program infrastruktur yang dilakukan oleh Ditjen Migas juga bisa dibangun untuk Bio CNG, apabila sudah mendesak atau perlu dilakukan fasilitasi implementasi Bio CNG untuk kebutuhan rumah tangga.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan CNG Indonesia (APCNGI), Dian Kuncoro menilai distribusi dan infrastruktur pemanfaatan CNG membutuhkan biaya investasi yang lebih mahal dibandingkan dengan LPG. Hal itu disebabkan oleh karakteristik keduanya yang berbeda.
CNG disebut memiliki tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan LPG, sehingga untuk mengangkutnya ke industri perlu material tabung yang lebih kuat. Aspek tersebut tentu akan berdampak pada ongkos dari sisi material menjadi lebih mahal menjadi sekitar USD 10-13 per MMBTU.
"Cost dari biogas untuk jadi gas berapa, yang belum jadi bio-CNG? Apakah bisa USD6 -- USD7 MMBTU? (Biaya pengolahan) ini harus punya nilai kompetisi dengan harga gas pipa," pungkasnya.
(ega/dna)