Jakarta -
Inggris tengah dilanda krisis energi. Kondisi itu sudah seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Indonesia agar tak terjerumus dalam masalah yang sama.
Dalam pemenuhan kebutuhan listrik nasional, Indonesia bisa mengoptimalkan pembangkit listrik bertenaga batu bara ketimbang memaksakan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) yang belum siap.
"Kalau kita lihat di Amerika Serikat, EBT hanya 12% di tahun 2020. Kalau Inggris sudah lama pake fosil, mereka sudah 400 tahun pakai batu bara sejak era revolusi industri," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangannya, Rabu (29/9/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pekan ini, krisis energi melanda Inggris dan beberapa negara Eropa. Hal ini menyadarkan mereka bahwa tidak bisa serta merta mengandalkan dan bergantung sepenuhnya kepada EBT. Di saat sama, harga gas meroket 250% karena keterbatasan pasokan.
Komaidi yakin sejauh ini batu bara akan tetap menjadi energi yang dominan untuk pembangkit listrik Indonesia. Ia melihat pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah.
Ia juga menuturkan, Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi ini. Menurutnya, EBT bisa dikembangkan, tapi jika belum bisa kompetitif, jangan dipaksakan.
Ditambahkannya, sekalipun menggunakan batu bara, PLTU baru saat ini sudah pakai teknologi maju, di antaranya PLTU USC (Ultra Super Critical) yang bisa dihitung biaya produksinya.
"EBT sebagai pelengkap, bukan pengganti. Kalau diibaratkan makanan di meja, EBT itu ibarat sambal, bukan nasinya. Hal ini sejalan dengan yang dituangkan Rencana Umum Energi Nasional di mana 2050 konsumsi fosil masih besar, dan EBT hanya 23% maksimal," ujarnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Sementara, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menilai perubahan dari pemanfaatan fosil menjadi EBT harus melalui proses kerja keras dan konsisten agar kebijakan target 'zero carbon' tercapai pada 2060.
"Ya untuk saat ini, (peralihan ke EBT) memang membutuhkan waktu, tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan," katanya.
Di sisi lain, ia mengingatkan, Indonesia juga harus memiliki roadmap energi hijau untuk 30 tahun mendatang sebagai target zero energy carbon. Terpenting adalah pemerintah juga perlu mendesak negara maju yang menyatakan pelarangan emisi karbon.
Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan mengatakan transisi ke EBT pasti akan terjadi, mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya. Meski demikian, ia menilai harus melihat kesiapan dari pemanfaatan energi tersebut.
"Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal," kata Mamit.
Dia menguraikan, kemampuan ekonomi masyarakat terhadap harga BBM dan listrik yang tinggi masih rendah. Belum lagi keuangan negara juga makin terbebani jika harga energi yang tersedia lebih mahal dari batu bara.
Saat ini harga EBT masih lebih mahal dibanding harga batu bara. Jika nanti skema tarifnya ditentukan oleh pemerintah, sudah pasti akan membebani PLN dan keuangan negara.
Dengan alasan-alasan tersebut, kata dia, apabila secara ekonomi belum terpenuhi sebaiknya pemerintah tidak perlu terburu-buru beralih ke EBT.
"Memang transisi itu akan tetap ada dan terjadi, sehingga bagaimana kita melihat kesiapan menjalankan hal tersebut. Kita harus sabar dan melihat kondisi internal seperti apa. Jangan terburu-burulah, nanti kejadian kaya Inggris. Pembangkit listrik batu bara kita dihancurkan, tapi tiba-tiba kekurangan bahan pasokan energi terbarukan," ujarnya.