Dapat dipastikan tahun depan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan dikenakan pajak karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Sebab telah disepakatinya pembuatan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam draf RUU HPP sebelumnya telah dituangkan bahwa tarif pajak karbon nantinya akan diterapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
"Dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp 30 per kilogram dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara," bunyi draf tersebut dalam Bab VI Pasal 13 ayat (9).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tarif tersebut sebenarnya jauh lebih rendah dari usulan yang pernah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya yang sebesar Rp 75 per kg CO2e.
Kemarin, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan pengenaan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap. Ini merupakan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan Internasional pada 2030.
"Penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap serta diselaraskan dengan carbon trading sebagai bagian dari roadmap green economy," kata Yasonna dalam rapat paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (7/10/2021).
Dalam RUU HPP pasal 13 dijelaskan bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon.
"Untuk tahap awal, mulai tahun 2022, pajak karbon akan diterapkan pada sektor PLTU batu bara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi atau cap and tax. Tarif Rp 30 per kilogram CO2e diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan," jelasnya.
Peta jalan pajak karbon yang dimaksud yakni memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
Sedangkan kebijakan peta jalan pajak karbon adalah yang ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR RI.
Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
"Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu," bunyi pasal 13 ayat (6).
Kategori terutang pajak karbon yakni pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau saat lain yang diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan pemerintah.
"Penerimaan pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim," bunyi Pasal 13 ayat (11).
Lihat juga video 'Walhi: FABA PLTU Cilacap 26 Ribu Ton per 3 Bulan':