Indonesia akan menghilangkan keberadaan pembangkit listrik tenaga fosil. Mulai 2030 tidak ada lagi izin pembangunan pembangkit listrik tenaga fosil. Targetnya seluruh pembangkit listrik akan bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) mulai 2060.
Langkah ini menjadi kabar baik karena dengan transisi menuju energi terbarukan maka Indonesia dapat menekan emisi karbon, dalam hal ini mewujudkan non emisi karbon (net zero emission/NZE) di 2060. Namun, ada yang menyebut produksi listrik dari EBT masih mahal dibandingkan listrik yang dihasilkan dari batu bara. Benarkah demikian?
Menanggapi hal ini, Ketua Komite Tetap KADIN untuk Energi Terbarukan, Muhammad Yusrizki, menegaskan bahwa pihaknya dan swasta mendukung langkah pemerintah dalam agenda NZE. Sementara terkait persepsi mengenai harga listrik EBT masih mahal dan akan mendorong kenaikan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik dan pada akhirnya Tarif Dasar Listrik (TDL), Yusrizki tak sepakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Persepsi tersebut merupakan persepsi yang salah. Sebagai contoh di wilayah distribusi Jawa Timur, BPP PLN ditetapkan sebesar Rp 911,59 sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 169 Tahun 2020. Banyak pihak swasta yang menawarkan tarif listrik dari PLTS Atap untuk wilayah Jawa Timur pada kisaran Rp 820- 900 per kwh, dan ini untuk instalasi di bawah 5 MWp. Artinya secara teknologi dan investasi, harga levelized cost of energy (LCOE) dari PLTS Atap sanggup bersaing dengan BPP bahkan BPP Jawa - Bali," kata Yusrizki saat dihubungi, Selasa (26/10/2021).
Seharusnya, kata Yusrizki, persepsi-persepsi seperti itu harus dihilangkan demi mendorong pemanfaatan energi Indonesia ke arah yang lebih baik. "sebaiknya persepsi-persepi mengenai harga listrik EBT yang mahal tidak lagi terjadi di Indonesia," katanya.
Terkait dengan BPP dan TDL, Yusrizki mengatakan kalau tarif tersebut naik maka bukan karena biaya produksi listrik dari EBT.
"Yang kemungkinan besar akan terjadi adalah BPP di Jawa Bali kemungkinan naik apabila banyak masuk pembangkit EBT, bukan karena biaya listrik dari EBT lebih tinggi, tetapi karena struktur komersial dan tanggung jawab komersial PLN yang banyak dibebani dengan skema take-or-pay oleh pembangkit swasta atau IPP," katanya.
"Misalkan dibangun PLTS sebesar 100MW di sistem Jawa-Bali, maka harga produksi listrik PLTS mampu bersaing, bahkan lebih murah, dibandingkan PLTU. Akan tetapi untuk listrik yang tidak dibeli oleh PLN dari PLTU, PLN tetap harus membayarkan sesuai dengan skema take-or-pay yang telah disepakati. Hal inilah yang berpotensi mendorong kenaikan BPP di sistem Jawa - Bali. Dan terkait kewajiban komersial ini, Kadin menyadari posisi PLN tidaklah mudah," sambungnya.
Simak juga 'PNS Bakal 'Dipaksa' Pakai Mobil dan Motor Listrik, Ini Target Pemerintah':