Jakarta -
Peralihan ke energi yang ramah lingkungan tak bisa terelakkan. Penggunaan energi fosil diupayakan berkurang dan beralih ke energi hijau, salah satunya panas bumi atau 'harta karun energi'.
"Transisi energi yang berkelanjutan tak terelakkan. Hampir semua negara sudah memulai transisi energi hijau dengan bertahap mengurangi energi fosil," ujar Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansuri dalam salah satu sesi wawancara, dikutip Jumat (14/1/2022).
Isu peralihan energi diawali dengan perubahan iklim yang ditandai dengan kenaikan suhu global. Negara-negara di dunia berupaya menekan emisi dengan beralih ke energi yang ramah lingkungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pahala mengungkapkan, langkah transisi energi harus dilakukan dengan nyata. Kementerian BUMN mendukung Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang lebih hijau.
"Dalam RUPTL 2021-2030, porsi listrik dengan energi terbarukan (EBT) sebesar 51,57% atau setara 20.923 MW," ujar Pahala.
Porsi energi baru terbarukan (EBT) ditargetkan 23% pada 2025 dan 31% di 2050. Porsi EBT salah satunya ditingkatkan melalui pengembangan panas bumi atau 'harta karun energi'.
"Kita akan kembangkan geothermal, karena yang menguntungkan di geothermal. Target penurunan emisi dari perusahaan BUMN 85 juta ton CO2,'' tuturnya.
Geothermal atau panas bumi, lanjut Pahala, merupakan energi andalan Indonesia karena bisa dijadikan baseload. Biaya penyediaan energinya pun lebih murah dibandingkan EBT yang lain, yakni hanya US$ 7,6-8 sen per kWh.
''Bandingkan dengan baterai dari energi surya yang US$ 12 sen per kWh, jelas geothermal lebih murah. Sehingga, pemerintah menilai, geothermal punya potensi unik untuk dikembangkan," imbuhnya.
Peningkatan penggunaan geothermal itu juga untuk menekan impor BBM nasional. Sebab, saat ini, konsumsi BBM Indonesia sekitar 1,2 juta barel per hari. Kebutuhan BBM tersebut sebanyak 40% dipasok dari impor.
Pahala mengatakan, pihaknya mendorong BUMN untuk mengoptimalkan pengembangan geothermal di wilayah kerjanya sendiri. Apalagi, saat ini baru 9% wilayah kerja geothermal yang berproduksi dengan kapasitas hanya 1.900 MW. ''Kita masih punya potensi 19 GW, kita dorong bagaimana agar Pertamina Geothermal Energy mengembangkan area geothermal,''tukasnya.
Pertamina Geothermal Energy kelola 15 WK. Cek halaman berikutnya.
Pertamina Geothermal Energy kelola 15 WK
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) mengelola 15 wilayah kerja dengan kapasitas 1.877 MW. Dengan rincian 672 MW dioperasikan sendiri dan 1.205 MW merupakan kontrak operasi bersama. Untuk meningkatkan pemanfaatan panas bumi, saat ini PGE sedang mengembangkan teknologi baru dengan menggunakan binary cycle.
Indonesia memiliki kekuatan sangat besar atas EBT bersumber dari energi air, panas bumi, angin, matahari, biosolar, arus bawah laut, dan yang lain-lainnya.
Dengan aset besar itu, Indonesia saat ini juga tengah mengejar ketersediaan energi baru dan terbarukan. Salah satunya lewat panas bumi yang sangat berlimpah di Tanah Air.
Kementerian BUMN juga akan terus mendorong BUMN sektor energi memiliki kontribusi terhadap pencapaian dekarbonisasi agar Indonesia yang ditargetkan mampu menurunkan emisi 29% pada tahun 2030, sesuai Paris Agreement.
PT Pertamina melalui Subholding Pertamina New Renewable Energy (PNRE) resmi terbentuk awal Agustus 2021. Lewat subholding ini, Pertamina akan pemimpin transisi energi di Indonesia.
Harapannya, Subholding PNRE bisa mewujudkan visi sebagai Indonesia Green Energy Champion, mencapai aspirasi kapasitas terpasang 10 GW di 2026, serta mendukung visi Pertamina menuju global green energy company.
PGE kembangkan panas bumi. Cek halaman berikutnya.
Apalagi, PNRE melalui PGE juga tengah mengembangkan potensi panas bumi di Indonesia.
"Bukan hanya untuk pembangkit listrik, tapi juga panas bumi yang mampu mengurangi emisi karbon yang mampu meningkakan kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik," ujar Pahala.
Kata Pahala, PGE dengan visi beyond geothermal-nya ditargetkan bisa menjadi perusahaan energi hijau kelas dunia (World Class Green Energy Company). Ini memungkinkan karena PGE bisa menjadi tiga pemain besar geothermal dunia.
Pahala menyakini, potensi energi hijau sangat besar. Sebagai gambaran, Energy Market Authority (EMA) Singapura telah mengumumkan akan melakukan diversifikasi sumber listriknya lewat pembangkit energi terbarukan hingga 4 gigawatt (GW) non-intermiten pada tahun 2035.
"Ini juga potensi yang bagus untuk ekspor, dengan faktor kedekatan Indonesia dengan Singapura. Peluang ini harus ditangkap cepat (fast response) dan dimanfaatkan," papar Pahala.
Pahala mengingatkan, gerak cepat negara tetangga juga harus menjadi perhatian BUMN agar tak ketinggalan dalam penyediaan energi listrik EBT.
"Untuk itu, dibutuhkan sinergi yang kuat antara PNRE, PGE dan PLN untuk menyediaan kebutuhan energi hijau di dalam negeri, serta mampu menangkap peluang ekspor dengan sumber daya yang melimpah," tegas Pahala.
Dengan berbagai upaya tersebut, pemerintah optimistis target pencapaian bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 dapat tercapai.