Dunia Beralih ke Energi Terbarukan, Industri Fosil Putar Otak

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Senin, 31 Jan 2022 10:23 WIB
Ilustrasi/Foto: dok. Pertamina
Jakarta -

Dunia tengah bergerak ke masa transisi energi, semua energi terbarukan yang ramah lingkungan mulai digunakan. Perusahaan minyak dan gas sebagai penghasil energi fosil yang tidak ramah lingkungan pun jadi gelisah.

Mereka pun mencari cara untuk tetap hidup. Memutar arah menjadi industri petrokimia produsen plastik jadi solusinya. Produksi plastik bakal jadi pertumbuhan bisnis utama mereka berikutnya.

"Plastik adalah plan B (rencana kedua) untuk industri bahan bakar fosil," kata Judith Enck, Pendiri dan Presiden kelompok advokasi nirlaba Beyond Plastics, dilansir dari CNBC, Senin (31/1/2022).

Plastik, yang terbuat dari bahan bakar fosil, akan menggantikan hampir setengah dari pertumbuhan permintaan minyak pada pertengahan abad ini. Ramesh Ramachandran, CEO No Plastic Waste mengatakan saat ini semua perusahaan produsen plastik pasti akan melakukan ekspansi beberapa waktu ke depan.

"Setiap perusahaan yang saat ini bergerak di bidang produksi plastik, jika melihat anggaran modal mereka untuk dua hingga tiga tahun ke depan pasti mereka semua berbicara tentang rencana ekspansi," kata Ramachandran.

Banyak negara maju sudah dibanjiri plastik. Jadi perusahaan bahan bakar fosil dan petrokimia kemungkinan akan mengandalkan negara berkembang di Asia dan Afrika untuk mendorong pertumbuhannya.

Alan Gelder dari Wood Mackenzie memperkirakan bahwa setiap tahun hingga tahun 2050, akan ada 10 juta metrik ton pertumbuhan di pasar petrokimia, yang digunakan untuk membuat plastik dan produk lainnya. Dia mengatakan banyak dari itu akan dikirim ke luar Amerika Serikat.

"Tidak ada pertumbuhan permintaan di AS. Tetapi negara ini bisa menjadi tempat di mana fasilitas (pabrik) dibangun untuk memenuhi pertumbuhan permintaan global," kata Alan Gelder.

Raksasa minyak Timur Tengah seperti Qatar, Arab Saudi dan UEA serta Amerika Serikat adalah produsen dan pengekspor bahan baku plastik dan polimer terkemuka. Negara Asia pada umumnya, dan China secara khusus, adalah importir terbesar dari blok bangunan plastik ini.

Masalahnya adalah sebagian besar plastik berakhir mendekam di tempat pembuangan sampah, atau sebagai sampah di darat atau laut. Hanya 9% dari semua plastik yang pernah dibuat telah didaur ulang.

China dulunya mendaur ulang sebagian besar plastik dunia secara menguntungkan, tetapi berhenti menerima impor limbah plastik pada tahun 2018, karena sebagian besar terlalu terkontaminasi untuk digunakan kembali. Jadi sekarang, limbah itu dialihkan ke negara-negara miskin yang tidak memiliki infrastruktur untuk memproses atau mendaur ulangnya.

Afrika mengalami peningkatan empat kali lipat dalam impor sampah plastik pada 2019, setahun setelah China menutup pintunya.

Plastik juga membanjiri India, Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Vietnam, yang sejak itu menerapkan pembatasan impor mereka sendiri. Tapi AS masih mengirimkan limbahnya ke sana.

Simak juga 'Instruksi Jokowi ke Ahok cs: RI Akan Setop Penggunaan Energi Fosil!':






(hal/eds)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork