RI Targetkan Nol Emisi di 2060, Ini Strategi Biar EBT Moncer

RI Targetkan Nol Emisi di 2060, Ini Strategi Biar EBT Moncer

Aulia Damayanti - detikFinance
Jumat, 18 Mar 2022 21:30 WIB
Indonesia memiliki iradiasi energi matahari rata-rata 4,80 kWh per m2 per hari. Sehingga menjadi pilihan yang baik sebagai alternatif sumber energi.
Foto: Ketua Komite Tetap untuk Energi Baru dan Terbarukan (Komtap EBT) Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Muhammad Yusrizki /Dok: Kadin
Jakarta -

Pemerintah menargetkan Indonesia mencapai nol emisi karbon atau net zero emission pada 2060. Pengusaha pun menyarankan strategi terkait pembiayaan proyek-proyek Energi Baru Terbarukan (EBT), baik dari APBN maupun pembiayaan swasta melalui lembaga pembiayaan.

Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Muhammad Yusrizki menyampaikan pada dasarnya peta jalan proyek EBT di Indonesia sudah dikeluarkan oleh PLN dan Kementerian ESDM melalui RUPTL 2021-2030 di mana pembangkit EBT menjadi menu utama RUPTL tersebut.

"Terkait minat dan partisipasi sektor swasta saya meyakini tidak perlu diragukan. Porsi EBT dalam RUPTL tidak akan kekurangan peminat dari sektor swasta," kata Yusrizki dalam keterangannya, Jumat (18/03/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kunci berikutnya adalah bagaimana sektor jasa pembiayaan memainkan peran serta aktif untuk mendukung eksekusi proyek-proyek EBT yang landasannya sudah disusun via RUPTL. Pada konteks ini KADIN mengharapkan perhatian dari Otoritas Jasa Keuangan untuk duduk bersama-sama dengan sektor swasta," lanjut Yusrizki.

Yusrizki mengatakan seharusnya OJK idealnya melanjutkan Green Taxonomy yang sudah disusun kepada sebuah metode risk-based adjustment. Hal itu untuk mulai membentuk ekosistem green financing di industri pembiayaan Indonesia.

ADVERTISEMENT

"Salah satu langkah yang KADIN meminta pertimbangan OJK adalah dengan Menyusun Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) khusus untuk pembangkit-pembangkit EBT yang memiliki kontrak dengan PLN. Bagi perbankan ATMR ini akan turut menentukan tingkat suku bunga yang harus dibayar oleh pengembang. Jika dilihat dari tingkat suku bunga, saat ini tidak terlihat perbedaan antara pembiayaan untuk kredit properti dengan kredit untuk pembiayaan EBT," ungkapnya

Yusrizki menambahkan jika diperlukan, perbankan dapat mempertimbangkan untuk membuat sebuah klasifikasi kredit khusus EBT. Sektor properti memiliki klasifikasi KPR dan KPA untuk konsumen dan Kredit Yasa Griya (KYG) untuk pembiayaan khusus pengembang.

Dengan memiliki klasifikasi seperti ini, perbankan dapat melakukan analisa risiko yang lebih terfokus terkait properti-properti yang akan diberikan pembiayaan.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Simak juga Video: Jokowi Bakal Tanya Pembiayaan Netral Karbon di KTT Bali

[Gambas:Video 20detik]



Faktor ini yang tidak dimiliki oleh sektor EBT sehingga sering kali analisa risiko untuk sektor EBT disamaratakan dengan sektor non EBT. Parahnya, apabila analisa risiko pembangkit EBT disamakan dengan risiko pembangkit fosil seperti PLTD, PLTG atau PLTU.

Yusrizki mengajak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), SMI dan lembaga pembiayaan baik BUMN dan non-BUMN untuk bergerak cepat membangun sebuah pola pandang dan pembiayaan khusus proyek EBT.

"Di tahun ini PLN akan membuka pengadaan untuk proyek de-dieselisasi yang akan memberikan volume besar bagi pergerakan EBT di Indonesia. Akan sangat ideal apabila sektor jasa keuangan turut berperan serta secara aktif dengan melihat dan merancang pola pembiayaan mulai dari proyek de-dieselisasi ini," demikian Yusrizki memaparkan.

Selain itu, Yusrizki juga menyarankan lembaga pembiayaan, khususnya perbankan, mengikut langkah SMI untuk melakukan net zero pledge.

"Langkah perbankan untuk masuk ke dalam net zero pledge akan menjadi salah satu katalis bagi percepatan investasi terkait net zero. Salah satu aspek net zero pledge bagi perbankan adalah dengan memperhitungkan emisi atas portfolio kredit mereka, atau Scope 3 sesuai definisi dari GHG Protocol," tuturnya.

"Net zero dalam kerangka portofolio kredit artinya jika perbankan memiliki satu portfolio kredit, misalnya untuk batu bara, maka bank tersebut harus menyeimbangkan portofolio kredit tersebut dengan dua atau tiga proyek EBT," tutup Yusrizki.


Hide Ads