Saat harga minyak mentah melonjak, pastinya memberikan keuntungan besar bagi para perusahaan minyak apalagi tanpa pajak tambahan.
Pada tahun 2021, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia yaitu ExxonMobil (XOM) berhasil menghasilkan laba sebanyak US$ 23 miliar atau setara Rp 328,9 triliun (kurs 14.300), angka itu merupakan laba terbesar yang dialami selama tujuh tahun terakhir.
Sedangkan dengan kenaikan harga minyak mentah yang tengah terjadi, diperkirakan XOM akan memperoleh laba hampir US$33 miliar (Rp 471,9 triliun) untuk tahun 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal serupa juga terbukti di perusahaan minyak lainnya, BP PLC (BP) memperoleh laba sebanyak US$ 12,8 miliar (Rp 183 triliun) pada tahun 2021, dan diperkirakan pada tahun 2022 akan memperoleh laba sebanyak US$ 15,6 miliar (Rp 223 triliun).
Sebelumnya, pemerintahan Amerika Serikat (AS) dan Inggris sudah membuat gagasan yaitu dengan memberlakukan pajak bagi transaksi konsumsi minyak mentah. Namun, saat ini keputusan itu terbatas pada partai-partai liberal yang ada di kedua negara.
Tetapi, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson telah menentang gagasan itu. Bersama dengan Menteri Keuangannya, Rishi Sunak akan memikirkan rencana lainnya untuk membantu warga Inggris dalam menghadapi kenaikan harga minyak mentah ini.
Sedangkan para Democratic Supporter di Washington, Amerika Serikat berpendapat bahwa pajak itulah satu-satunya cara yang adil untuk membantu orang yang tidak mampu agar bisa mengemudi atau menghangatkan rumah mereka.
"Kita perlu mengekang pencatutan oleh Big Oil dan memberikan bantuan kepada orang Amerika di pompa bensin - yang dimulai dengan memastikan perusahaan-perusahaan ini membayar harga ketika mereka mencongkel harga," kata Senator Elizabeth Warren, dikutip dari CNN, Senin (21/3/2022).
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Simak Video 'Mendag Soal Migor Mahal: 'Salahkan' Rusia-Janji Penjarakan Mafia':