Jakarta -
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan harga keekonomian atau batas atas bahan bakar minyak (BBM) umum RON 92 pada April bisa sekitar Rp 16.000 per liter. Sedangkan sekarang, harga Pertamax dengan RON 92 dijual Rp 9.000, dan Rp 9.200 di beberapa daerah.
Apakah PT Pertamina (Persero) masih kuat menahan harga Pertamax di Rp 9.000?
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menjelaskan berdasarkan perhitungannya, sepanjang 2021 saja perusahaan minyak dan gas (migas) milik negara itu sudah harus menanggung selisih harga di kisaran Rp 2.500-3.000 per liter imbas tak menyesuaikan harga sesuai harga keekonomian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan saat ini konsumsi Pertamax kurang lebih 12% dari total konsumsi (BBM) nasional, di angka 5 sampai 6 juta K/L, sekitar segitu konsumsinya, jadi kita bisa hitung sebenarnya berapa kerugian yang harus ditanggung Pertamina, potential lost yang harus ditanggung Pertamina," katanya kepada detikcom, Selasa (29/3/2022).
Jadi, lanjut dia, sampai hari ini pengguna Pertamax disubsidi oleh Pertamina. Sementara BUMN tersebut tidak mendapatkan kompensasi atau anggaran subsidi apapun untuk penjualan Pertamax di bawah harga keekonomian.
"Saya kira kondisi ini terlalu memberatkan keuangan Pertamina, apalagi di tengah harga minyak dunia yang terus mengalami kenaikan. Jadi kalau tidak dilakukan penyesuaian ini akan mengganggu terkait dengan jalur distribusi. Karena kan saat ini kan yang bertugas untuk menyalurkan jalur distribusi kan sub holding ya, dalam hal ini Patra Niaga. Kalau mereka nanti berdarah-darah keuangannya juga nanti malah terganggu jalur distribusi kita," tambahnya.
Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi juga berpendapat demikian. Apalagi pemerintah belum membayarkan seluruh utangnya kepada Pertamina.
"Misalnya piutang Pertamina di pemerintah itu kan sudah 4 tahun juga nggak dibayar. Nah saya khawatir akan terjadi shortage cash. Pertamina kan membutuhkan cash untuk nanti misalnya untuk pengadaan BBM yang lain," tutur Fahmy.
Sudah saatnya harga Pertamax naik? Buka halaman selanjutnya.
Fahmy menjelaskan bahwa harga minyak dunia telah menyentuh di atas US$ 100/barel. Jika Pertamina tak menyesuaikan harga makan akan membebani perusahaan minyak dan gas (migas) milik negara tersebut.
"Maka Pertamax harus dinaikkan karena bebannya Pertamina akan cukup berat, selisih dari Rp 9.000 sampai taruhlah Rp 16.000 itu kan besar sekali yang itu harus ditanggung oleh Pertamina," katanya.
Mamit juga berpendapat bahwa harga Pertamax sudah saatnya harus dilakukan penyesuaian. Terlebih, selisih harga keekonomian dengan harga jual yang lebih murah tidak ditanggung oleh pemerintah.
"Jadi memang hemat saya adalah kita perlu melakukan penyesuaian karena dari sisi peraturan semuanya sudah jelas, dari sisi kondisi aktualnya pun memang saat ini juga sudah tidak memungkinkan Pertamina untuk menahan harga terus, karena mereka kan tidak mendapatkan kompensasi atau subsidi apapun dari Pertamax ini," jelasnya.
Berapa harga baru Pertamax yang diusulkan?
Mamit mengusulkan harga Pertamax naik di kisaran Rp 12.000, jangan sampai menyentuh Rp 16.000 walaupun itu harga keekonomiannya. Sebab, kenaikan sebesar itu terlalu berat buat masyarakat.
"Saya mengusulkan ke Pertamina kalaupun naik ya di angka Rp 12.000 lah, Rp 12.000 something, jangan sampai Rp 16.000 ataupun Rp 14.000 karena masih terlalu berat lah bagi masyarakat," katanya.
Meskipun jenis BBM umum Pertamax tersegmentasi untuk kalangan tertentu, rata-rata dikonsumsi oleh masyarakat mampu, tapi menurut Mamit perlu diperhitungkan kembali mengenai nilai kenaikan yang ideal agar tidak memberatkan konsumen.
"Pastinya sih saya yakin harga Pertamax ini akan lebih murah dibandingkan SPBU swasta," tambahnya.
Fahmy berpendapat Pertamina bisa menaikkan harga Pertamax dengan berpatokan kepada kompetitor, alias SPBU swasta.
Dia mencontohkan SPBU milik Shell yang menjual Shell Super dengan RON setara Pertamax, mereka menjualnya di Rp 12.990 per liter. Jadi, kenaikan Pertamax tidak harus sesuai harga keekonomiannya.
"Barangkali kita bisa berpatokan pada harga Pertamax-nya SPBU asing, Shell misalnya," papar Fahmy.