Wacana kenaikan harga Pertalite dan LPG 3 kg pertama kali diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dia bilang hingga akhir tahun, kenaikan akan dilakukan secara bertahap.
Pernyataan Luhut pun diamini Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Dia menyatakan pemerintah memang sedang melakukan kajian soal kenaikan BBM Pertalite.
"Saat sekarang masih kita kaji. Sesudah kita kaji, nanti kita umumkan. Tapi sekarang belum," ujar Airlangga dalam konferensi pers hasil rapat terbatas yang disiarkan di Instagram Sekretaris Kabinet, Selasa (5/4/2022).
Wacana ini pun ditolak mentah-mentah. Pemerintah diminta untuk tidak menaikkan harga Pertalite dan LPG 3 kg. Sederet dampak ngeri menghampiri masyarakat bila kenaikan komoditas energi dilakukan.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan harga dua kebutuhan energi ini berisiko menekan kelompok masyarakat kelas bawah.
"Harusnya pemerintah tidak perlu naikkan Pertalite dan LPG 3 kilogram karena risiko terhadap daya beli 40% kelompok pengeluaran terbawah sangat besar," kata Bhima kepada detikcom, Minggu (10/4/2022).
"Pada akhirnya masyarakat akan mengurangi konsumsi barang lain seperti menunda pembelian barang elektronik, otomotif, pakaian jadi dan kebutuhan lain," ungkap Bhima.
Efek Domino
Efek dominonya, bila konsumsi masyarakat tertahan karena kenaikan BBM dan LPG 3 kg, perusahaan akan mengalami kekurangan permintaan. Pemasukan perusahaan pun akhirnya berkurang, bila terus berkurang efisiensi akan dilakukan. Ujungnya, badai PHK akan terjadi lagi.
"Efeknya bisa sebabkan perusahaan lakukan efisiensi massal dengan PHK karyawan. Apalagi kalau produksi industri sudah naik sejak tahun lalu sementara omset terganggu kenaikan Pertalite, maka perusahaan tidak punya opsi selain efisiensi," ujar Bhima.
"Worst scenario-nya adalah gelombang penutupan ritel dan pabrik kembali terjadi," katanya.
Sama seperti Bhima, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengatakan tekanan inflasi akan bertambah jika harga Pertalite dan LPG 3 kg naik. Saat ini saja, inflasi sudah relatif tinggi karena kebijakan tarif PPN, hingga naiknya harga Pertamax.
"Sekarang ditambah wacana kenaikan Pertalite dan Elpiji tentu tekanan terhadap inflasi di tahun ini berpeluang semakin lebih tinggi," katanya Yusuf kepada detikcom.
Yusuf mengatakan ada dua opsi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama menunda rencana kenaikan kedua komoditas energi itu setidaknya sampai tahun depan. Kemudian, opsi kedua adalah pemberian bantuan langsung tunai bila Pertalite dan LPG 3 kg tetap dinaikkan.
"Kalaupun dijalankan tahun ini pemerintah memberikan kompensasi bantuan terutama bagi kelompok kelas menengah bawah, baik itu melanjutkan program bantuan yang sudah ada maupun membuka opsi menambah jenis bantuan," papar Yusuf.
Di sisi lain, pengamat energi dan juga Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan pun mengatakan kenaikan harga Pertalite dan LPG 3 kg memang tidak tepat dilakukan saat ini. Wacana ini tidak tepat dikeluarkan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang mengalami penurunan.
Apalagi, masyarakat juga dihadapkan dengan kenaikan harga barang-barang saat ini. Belum lagi, ada juga masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi.
"Masyarakat kita juga kan baru saja dihadapkan kepada kenaikan komoditas barang, ini hanya menambah beban ke masyarakat. Biarkan lah masyarakat tumbuh dulu ekonominya, kemarin juga ada pandemik," ungkap Mamit.
"Biar berjalan dulu agar pendapatan dan perekonomian stabil baru bicara hal itu," katanya.
Kenaikan harga Pertalite dan LPG 3 kg mendesak? Cek halaman berikutnya.
Kalau dilihat urgensinya, kenaikan harga Pertalite dan LPG 3 kg diakui Mamit memang sangat dibutuhkan. Sejauh ini Mamit bilang harga Pertalite dan LPG 3 kg memang sangat jauh dari harga keekonomian yang layak.
Apalagi, LPG 3 kg yang sudah belasan tahun tak kunjung dinaikkan. Harga Pertalite saat ini berada di Rp 7.650 sementara menurut Mamit harga pasarannya sudah mencapai Rp 15 ribuan per liter. Selisih harganya disubsidi pemerintah.
Sementara itu, Mamit menyatakan untuk harga LPG per kilogramnya dipatok Rp 4.250 sejak awal dikeluarkan. Sampai saat ini harga keekonomian gas LPG sudah mencapai Rp 20 ribu per kg.
"Memang sih sudah urgent sekali, kalau dihitung dari datanya harga Pertalite aja kondisi saat ini harusnya keekonomiannya Rp 15.600. Apalagi LPG 3 kg, dari semenjak program ini berjalan tidak pernah alami kenaikan di Rp 4.250 per kg, sekarang sudah Rp 20 ribu," papar Mamit.
Meski urgensi kenaikan harga sangat besar, menurut Mamit, negara juga harus menjaga perekonomian rakyatnya. Masalah kenaikan harga energi akan sangat memberatkan masyarakat.
"Saya sangat paham urgensi ke beban keuangan ini cuma ya tolong jangan sekarang lah, karena ini memberatkan sekali," tegasnya.
Mamit meyakini kenaikan harga tak tepat untuk dilakukan saat ini. Menurutnya bila kenaikan harga dilakukan dengan alasan mengurangi beban subsidi pemerintah, sebetulnya masih ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban subsidi Pertalite dan LPG 3 kg bagi pemerintah.
Hal tersebut adalah membuat skema subsidi yang tertutup dan berbasis kepada orang bukan barang. Artinya, subsidi untuk Pertalite dan khususnya LPG 3 kg diberikan hanya untuk orang-orang tertentu yang berhak mendapatkannya.
"Harusnya subsidi ini jangan lagi kepada barang, tapi langsung kepada orang. Subsidi tetutup, buat aturan jelas dan tegas untuk subsidi ini. Misalnya LPG, masyarakat yang sudah terdaftar bisa beli langsung ke SPBU," ungkap Mamit.
Selama ini, skema subsidi seperti itu dikhawatirkan tidak berjalan dengan baik karena masalah data penerimanya. Tapi, menurut Mamit, ada data yang paling akurat untuk memberikan subsidi energi. Data itu adalah data penerima subsidi listrik 450-900 VA.
"Datanya itu paling bagus menurut saya itu data dari PLN. Karena kan dia ada program 450-900 VA yang subsidi ini kan penerimanya benar-benar orang bawah nih ya, ada petugas yang kontrol juga. Artinya, ini benar-benar orang yang layak mendapatkan subsidi," ungkap Mamit.
Bukan cuma itu, Bhima menambahkan untuk menahan selisih harga pasar dengan harga subsidi, pemerintah bisa melakukan subsidi silang. Maksudnya, subsidi silang dilakukan dengan mengarahkan penerimaan negara yang surplus dari hasil ekspor minerba dan perkebunan ke selisih harga pasar dari Pertalite dan LPG 3 kg.
"Harusnya pemerintah bisa menahan selisih harga keekonomian Pertalite dan Elpiji 3 kilogram melalui mekanisme subsidi silang dari hasil windfall penerimaan negara dari ekspor minerba dan perkebunan," ungkap Bhima.
Bhima menilai pemerintah bagaikan mendapatkan durian runtuh dari hasil ekspor minerba dan perkebunan. Lonjakan pendapatan pajak dan PNBP dari dua sektor andalan ekspor itu diyakini Bhima bisa mencapai Rp 100 triliun.
"Berdasarkan simulasi kenaikan harga minyak mentah, diproyeksikan pemerintah sedang alami lonjakan pendapatan pajak dan PNBP sekitar Rp 100 triliun," papar Bhima.
Jika masih kurang, Bhima menilai pemerintah harus efisiensi belanja. Salah satunya, dengan menunda proyek-proyek besar yang dibiayai APBN, pemindahan dan pembangunan ibu kota negara (IKN) baru salah satunya.
Sebagai bayangan, Bhima menjabarkan kebutuhan dana IKN menurut Bappenas bisa mencapai Rp 468 triliun. Sementara itu, 53,3% dari total dana akan diambil dari APBN hingga 2024. Dana sebesar itu, menurut Bhima lebih baik difokuskan menjaga stabilitas harga pangan dan energi.