Minyak Dunia Kian Melambung, Pertamina Masih Sanggup Bendung?

Minyak Dunia Kian Melambung, Pertamina Masih Sanggup Bendung?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Sabtu, 04 Jun 2022 08:30 WIB
Harga Minyak Dunia Anjlok
Ilustrasi/Foto: Reuters
Jakarta -

Harga minyak dunia yang terus naik berimbas pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Namun Pertamina sebagai satu-satunya penjual BBM milik negara masih bisa menahan harga di tengah fluktuasi harga minyak dunia itu.

Padahal pada periode ini, terpantau beberapa SPBU internasional telah beberapa kali menerapkan kenaikan harga BBM. Seperti Shell yang kini mematok harga BBM jenis RON 92, Shell Super di angka Rp 17.500 per liter pada 1 Juni 2022 kemarin.

Di sisi lain, perusahaan minyak dalam negeri, Pertamina baru satu kali melakukan kenaikan harga RON 92 Pertamax sejak 1 April 2022 lalu menjadi harga Rp 12.500 per liter. Padahal saat ini Pertamina sedang berada pada kondisi defisit akibat tidak menyesuaikan harga jual BBM dengan harga belinya di pasaran global.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Angka itu saja jauh lebih rendah dari produk BBM Shell yang setara dengan Pertamax. Apalagi BBM dengan RON yang lebih rendah seperti Pertalite.

Lantas, bagaimana dengan nasib kantong Pertamina?

ADVERTISEMENT

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai mungkin Pertamina mau menaikkan harga jual BBM. Namun kenyataannya sebagai BUMN, Pertamina juga memiliki mandat untuk menjalankan Public Service Obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik.

"Sebetulnya kasarannya bagi Pertamina, kondisi ini seolah babak belur kantongnnya kempes," ujar Mamit saat dihubungi detikcom, Jumat (3/6/2022).

Mamit menambahkan, PSO juga membuat pemerintah turut andil dalam menetapkan kebijakan harga BBM jenis tertentu di pasaran. Di sisi lain, kompensasi yang seharusnya pemerintah berikan dalam menutup dana BBM subsidi tidak langsung dibayarkan hingga utang terhadap Pertamina jadi menumpuk.

Di sisi lain, Mamit mengatakan bahwa sebetulnya secara regulasi Pertamina berhak menaikkan harga Pertamax, tertuang dalam Perpres No. 69 tahun 2021 pasal 14A yang menyatakan kalau harga jenis BBM umum dapat ditentukan oleh badan usaha.

Menurut Mamit kenaikan Pertamax tidak akan menimbulkan dampak yang besar. Sebab menurut data yang dimilikinya angka konsumsi Pertamax hanya sebesar 19% dari total konsumsi BBM Pertamina secara keseluruhan.

Angka itu jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Pertalite yang mencapai 80%. Sedangkan Pertamax Turbo dan jenis BBM lainnya sebesar 1%.

"Kalaupun Pertamax belum bisa, agar beban tidak terlalu besar penyesuaian bisa dilakukan pada Pertamax turbo, Pertamax Dex dan lain-lain yang berada di atasnya," ujar Mamit.

Memang diakuinya kenaikan harga BBM akan memicu penolakan dari masyarakat. Namun itu bisa di atas jika pemerintah dan Pertamina bisa melakukan edukasi yang baik ke masyarakat.

"Pemerintah sekarang juga perlu berfokus untuk penggunaan pertalite bisa tepat sasaran. Menurut saya perlu ada pembatasan demi mewujudkan hal itu. Salah satu caranya bisa dengan yang sedang ramai ini seperti menggunakan aplikasi mypertamina," tuturnya.

Oleh karena itu dia mengaku mendukung jika Pertamina ingin menaikkan harga Pertamax atau BBM dengan RON yang lebih tinggi, apalagi belum ada tanda harga minyak dunia akan turun. Bahkan menurutnya, harga minyak dunia berkemungkinan akan terus diatas US$ 100 per barel hingga akhir tahun 2022.

Fahmy Radhi, seorang pengamat energi dari UGM juga turut memberikan tanggapan mengenai kondisi Pertamina yang saat ini seakan sedang berdarah-darah. Menurutnya, pemerintah mampu meringankan beban tersebut apabila langsung membayarkan beban kompensasi.

"Tapi masalahnya beban kompensasi itu tidak dibayarkan langsung oleh pemerintah. Agar Pertamina tidak berdarah-darah, pemerintah dapat melakukan beberapa upaya seperti membantu lewat dana APBN. APBN mampu karena pemerintah juga mendapat keuntungan dari harga minyak yang kita dapatkan dari mengekspor 700 barel per hari dengan harga yang sedang tinggi itu. Tetap itu bisa meringankan," ujar Fahmy.

Dirinya menambahkan bahwa secara perhitungan kasar bila harga Pertamax ke atas dilepas oleh pemerintah untuk menyesuaikan dengan harga keekonomian, tidak akan terlalu berpengaruh pada inflasi, mengingat para penggunanya ialah yang menengah ke atas.

"Jumlah konsumsi Pertamax itu kasarnya hanya di kisaran 12%, tidak akan terlalu berpengaruh pada inflasi. Berbeda dengan Pertalite yang konsumsinya sampai 60-70% dari total konsumen, pasti akan berpengaruh," ujar Fahmy.

Fahmy juga menambahkan kalau keuntungan ekspor komoditas lain seperti batubara dan nikel yang harganya sedang naik ini masih cukup untuk memberikan subsidi terhadap konsumen Pertalite dan solar.

Lebih lanjut, dirinya juga menambahkan bahwa sebenarnya secara langsung dengan tidak menaikkan harga BBM, Pertamina tidak menanggung kerugian sama sekali karena kerugian itu akan diganti kompensasi sehingga sebetulnya yang terbebani ialah pemerintah.

Di sisi lain, respon dari pihak Pertamina sendiri masih menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga SH C&T Pertamina, Irto Ginting menanggapi situasi ini dengan pernyataan bahwa untuk kedepannya Pertamina masih akan mereview dan memonitor perkembangan harga minyak dunia.

"Untuk BBM non-subsidi masih kami review sambil memonitor perkembangan harga minyak dunia," ujar Irto kepada detikcom.

Dirinya juga menambahkan bila menyangkut harga BBM subsidi, penetapan harga tersebut merupakan kewenangan yang diatur sepenuhnya oleh pemerintah.

Dengan kata lain, belum ada waktu pasti kapan kebijakan baru dari Pertamina mengenai harga BBM akan dikeluarkan atau tindakan lebih lanjut dalam menghadapi kondisi saat ini. Pertamina masih akan bertahan di tengah gejolak fluktuasi harga minyak mentah di pasar internasional.


Hide Ads