Sederet Dampak Ngeri Kalau Pertalite Jadi Naik

Sederet Dampak Ngeri Kalau Pertalite Jadi Naik

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 19 Agu 2022 17:35 WIB
PT Pertamina (Persero) sudah siap untuk menjual produk bensin terbarunya yakni Pertalite. Bensin RON 90 ini akan dijual pertamakali di SPBU Coco, Abdul Muis, Jakarta pada Jumat (24/7/2015) mendatang. Petugas beraktivitas di SPBU Coco, Abdul Muis, Jakarta, Selasa (21/7/2015). Pada Jumat (24/7/2015) mendatang, SPBU ini siap menjual Pertalite RON 90.  Hasan Al Habshy/detikcom.
Foto: Hasan Al Habshy
Jakarta -

Presiden Joko Widodo disebut akan mengumumkan kenaikan harga BBM jenis Pertalite minggu depan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan kenaikan ini untuk mengurangi beban APBN yang terus menerus menahan kenaikan harga BBM dengan subsidi.

Menanggapi hal tersebut Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan jika pemerintah harus mencermati baik-baik rencana kenaikan BBM Pertalite ini.

"Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan (volatile food) hampir sentuh 11% secara tahunan per Juli 2022?," kata dia saat dihubungi, Jumat (19/8/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dia masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak, mungkin sebelumnya mereka kuat beli Pertamax, tapi sekarang mereka migrasi ke Pertalite dan kalau harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan korbankan belanja lain.

Dia menambahkan masyarakat uang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin. Menurut dia imbasnya adalah permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu. Dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar.

ADVERTISEMENT

"Jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase Stagflasi. Imbas nya bisa 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam," jelas dia .

Bhima menambahkan sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi kan baru Rp88,7 triliun berdasarkan data APBN Kita. Sementara APBN sedang surplus Rp 106,1 triliun atau 0,57% dari PDB di periode Juli.

Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara. "Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi," jelas dia.

Menurut dia win-win solution nya, pemerintah bisa melakukan revisi aturan untuk hentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar.

Dengan tutup kebocoran solar, bisa hemat pengeluaran subsidi karena 93% konsumsi solar adalah jenis subsidi. "Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis pertalite," imbuh dia.

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan dirinya tak setuju dengan rencana kenaikan BBM Pertalite ini.

Dia mengungkapkan tahun ini inflasi diperkirakan di kisaran 5-6%. "Ini dengan asumsi pemerintah tidak menaikkan harga barang-barang subsidi," imbuh dia.

Piter menyebut upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah menurut saya hanya bisa menahan agar inflasi tdk mendekati angka 6% atau bahkan lebih dari 6%.

Menurutnya yang lebih utama harus dilakukan pemerintah adalah tidak menaikkan harga barang-barang subsidi.

"Kalau pemerintah menaikkan harga barang- subsidi seperti menaikkan harga Pertalite, inflasi akan terdorong lebih tinggi di atas enam persen. Bahkan di atas 8 persen," jelasnya.

(kil/dna)

Hide Ads