Hasil survei Indikator Politik Nasional menyatakan mayoritas masyarakat tidak setuju dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sejak 3 September 2022. Daripada menaikkan harga BBM, mereka tak masalah jika pemerintah harus menambah utang.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei ini dilakukan pada September 2022. Survei ini dilakukan lewat tatap muka dengan kriteria sampel antara lain warga negara Indonesia yang berusia 17 tahun atau lebih, atau yang sudah menikah sebanyak 1.220 orang dengan margin of error lebih kurang 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%.
"Besar sekali warga yang tahu kebijakan pemerintah mengenai kenaikan harga BBM, 96,6% orang sudah tahu. Kita tanya juga kalau dari sisi sikap ya sebagian besar menolak memang. Ini bukan hal yang mengagetkan karena memang ini kebijakan yang tentu tidak mengenakkan," kata Burhanuddin dalam konferensi pers virtual, Kamis (6/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih detail dijelaskan responden yang sangat setuju dengan kenaikan harga BBM hanya 1,2% dan setuju 10,5%. Sementara sisanya 32% responden kurang setuju, 55,6% tidak setuju sama sekali, dan 0,7% tidak tahu atau tidak jawab.
Secara umum mayoritas yang tidak setuju dengan kenaikan harga BBM terjadi di setiap status pekerjaan. Seperti karyawan 87,3%, usaha sendiri/wiraswasta 85,8%, karyawan dan usaha sendiri 93,1% dan belum/tidak bekerja 88,7%.
Dalam survei tersebut, Burhanuddin menjelaskan pihaknya meminta responden memilih pendapat yang lebih disetujui antara harga BBM dinaikkan untuk mengurangi beban APBN vs tidak dinaikkan meski harus menambah utang. Mayoritas lebih setuju dengan pernyataan ke-2.
"Karena harga bahan bakar dunia mengalami peningkatan, maka untuk mengurangi beban APBN sebaiknya harga bahan bakar dinaikkan, yang setuju dengan statement ini cuma 31,2%. Sementara 58% setuju dengan pendapat 'meski harga bahan bakar dunia saat ini mengalami peningkatan, pemerintah harus berupaya agar harga bahan bakar tidak dinaikkan termasuk jika harus menambah utang," tuturnya.
Di sisi lain, mayoritas responden yakni 72,1% tidak tahu bahwa APBN sudah bengkak hingga Rp 502,4 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi 2022.
"Yang tahu cuma 27,9%. Kenapa penolakan publik terhadap kebijakan kenaikan BBM tinggi, satu yang tahu bahwa subsidi dan kompensasi energi sudah mencapai Rp 502 triliun di 2022 itu dikit. Mereka tahunya itu nggak disubsidi harga BBM yang dijual di pom bensin (milik Pertamina)," tandas Burhanuddin.
(aid/zlf)