Pemerintah telah berencana mengganti liquefied petroleum gas (LPG) dengan alternatif bahan bakar lain, salah satunya listrik. Namun rencana konversi kompor gas ke kompor induksi tahun ini telah dibatalkan. Kini, LPG 3 kg pun masih merajalela di masyarakat.
Sementara itu, masih ada satu alternatif lainnya yang telah lebih dulu dicanangkan pemerintah yakni gas dimetil ether (DME). DME adalah gas olahan yang berasal dari batu bara. Dibandingkan LPG, DME diklaim lebih hemat dan efisien.
Kendati demikian, program ini ditargetkan baru bisa terealisasi pada 2028 mendatang. Sedangkan pergantian pemerintahan akan terjadi pada 2024.
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, program ini perlu dinaungi regulasi yang jelas agar bisa terus berjalan. Apalagi mengingat dominasi penggunaan LPG 3 kg saat ini, tentu tidak akan mudah mengurangi penggunaannya.
"Apakah akan mengalahkan dominasi LPG? Saya kira harusnya ini komplementer terlebih dahulu sebagai upaya mengurangi penggunaan LPG. Jika sudah masif dan siap maka harusnya sih bisa ya," kata Mamit kepada detikcom, Jumat (07/10/2022).
Namun ia memperingatkan, jangan sampai program ini mandek seperti beberapa kebijakan energi lainnya akibat pergantian kepemimpinan. Mamit mencontohkan beberapa program seperti konversi BBM ke BBG di rezim SBY dulu, dan program pembatasan BBM subsidi.
Ditambah lagi, sejauh ini progres yang terdengar barulah ground breaking pabrik DME. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang jelas.
"Jangan sampai nanti ketika penggantian pemerintahan rencana ini mandek seperti kebijakan energi lain. Itulah salah satu kekurangan kebijakan energi kita. Bersifat parsial dan suka berdasarkan periodisasi politik," lanjutnya.
Setelah program ini dapat berjalan dan menurunkan penggunaan LPG, Mamit mengatakan pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana nasib para pemilik agen LPG dan SPBBE pangkalan.
"Tinggal pemerintah memikirkan bagaimana nasib dari pemilik agen LPG, SPBBE, pangkalan jika program ini bisa menggantikan LPG. Apakah mereka tetap mendapatkan dan bisa melanjutkan bisnis mereka dengan mengganti LPG ke DME," katanya.
Senada dengan pendapat Mamit, Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, dirinya berharap pemerintah yang sekarang dapat memandatkan program bauran energi ini kepada penggantinya sebagai program prioritas. Salah satu cara yang bisa ditempuh ialah dengan mencantumkannya ke dalam undang-undang (UU).
"Saya kira bergantung pada UU. Apakah UU Energi Baru Terbarukan (EBT), yang secara eksplisit mencantumkan gratifikasi atau penggunaan jargas, atau bbg misalnya. Itu sebaiknya dibuat UU sehingga siapapun rezim yang melanjutkannya bisa menjalankan kebijakannya kembali. Itu dalam rangka kontinuitas," jelasnya.