Pengganti LPG 3 Kg Bakal Bernasib Sama dengan Kompor Listrik?

Pengganti LPG 3 Kg Bakal Bernasib Sama dengan Kompor Listrik?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Jumat, 07 Okt 2022 19:45 WIB
Infografis sederet fakta DME yang bakal ganti LPG buat masak
Foto: Infografis detikcom/Luthfy Syahban
Jakarta -

Pemerintah telah berencana mengganti liquefied petroleum gas (LPG) dengan alternatif bahan bakar lain, salah satunya listrik. Namun rencana konversi kompor gas ke kompor induksi tahun ini telah dibatalkan. Kini, LPG 3 kg pun masih merajalela di masyarakat.

Sementara itu, masih ada satu alternatif lainnya yang telah lebih dulu dicanangkan pemerintah yakni gas dimetil ether (DME). DME adalah gas olahan yang berasal dari batu bara. Dibandingkan LPG, DME diklaim lebih hemat dan efisien.

Kendati demikian, program ini ditargetkan baru bisa terealisasi pada 2028 mendatang. Sedangkan pergantian pemerintahan akan terjadi pada 2024.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, program ini perlu dinaungi regulasi yang jelas agar bisa terus berjalan. Apalagi mengingat dominasi penggunaan LPG 3 kg saat ini, tentu tidak akan mudah mengurangi penggunaannya.

"Apakah akan mengalahkan dominasi LPG? Saya kira harusnya ini komplementer terlebih dahulu sebagai upaya mengurangi penggunaan LPG. Jika sudah masif dan siap maka harusnya sih bisa ya," kata Mamit kepada detikcom, Jumat (07/10/2022).

ADVERTISEMENT

Namun ia memperingatkan, jangan sampai program ini mandek seperti beberapa kebijakan energi lainnya akibat pergantian kepemimpinan. Mamit mencontohkan beberapa program seperti konversi BBM ke BBG di rezim SBY dulu, dan program pembatasan BBM subsidi.

Ditambah lagi, sejauh ini progres yang terdengar barulah ground breaking pabrik DME. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang jelas.

"Jangan sampai nanti ketika penggantian pemerintahan rencana ini mandek seperti kebijakan energi lain. Itulah salah satu kekurangan kebijakan energi kita. Bersifat parsial dan suka berdasarkan periodisasi politik," lanjutnya.

Setelah program ini dapat berjalan dan menurunkan penggunaan LPG, Mamit mengatakan pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana nasib para pemilik agen LPG dan SPBBE pangkalan.

"Tinggal pemerintah memikirkan bagaimana nasib dari pemilik agen LPG, SPBBE, pangkalan jika program ini bisa menggantikan LPG. Apakah mereka tetap mendapatkan dan bisa melanjutkan bisnis mereka dengan mengganti LPG ke DME," katanya.

Senada dengan pendapat Mamit, Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, dirinya berharap pemerintah yang sekarang dapat memandatkan program bauran energi ini kepada penggantinya sebagai program prioritas. Salah satu cara yang bisa ditempuh ialah dengan mencantumkannya ke dalam undang-undang (UU).

"Saya kira bergantung pada UU. Apakah UU Energi Baru Terbarukan (EBT), yang secara eksplisit mencantumkan gratifikasi atau penggunaan jargas, atau bbg misalnya. Itu sebaiknya dibuat UU sehingga siapapun rezim yang melanjutkannya bisa menjalankan kebijakannya kembali. Itu dalam rangka kontinuitas," jelasnya.

Lanjut ke halaman berikutnya.

Fahmy juga menyinggung soal salah satu program energi yang tidak berlanjut setelah pergantian kepemimpinan yakni konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) di rezim SBY. Yang juga disayangkan, RI memiliki sumber gas alam yang melimpah ruah. Hanya saja, infrastrukturnya tidak mencukupi, serta dibutuhkan investasi yang sangat besar.

"Seperti SBY saat BBM naik, dia berencana mengganti dengan BBG, bahan bakar gas. Hanya masalahnya dia butuh infrastruktur pipa. Akhirnya mandek dan tidak dilanjutkan," kata Fahmy.

"Itu misalkan jalan, bisa jadi infrastrukturnya sudah terbangun di Jawa sekarang, dan itu bisa mengurangi penggunaan BBM yang harganya fluktuatif," lanjutnya.

Di sisi lain, meski program konversi kompor induksi sudah dibatalkan tahun ini, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI), Iwa Garniwa mengatakan, pemerintah juga perlu tetap mengembangkan program tersebut. Apalagi, salah satu tujuan pemerintah ialah menurunkan beban subsidi dan impor.

"Namun demikian menurut hemat, jangan hanya ini (DME) yang dikembangkan tetapi juga kompor listrik atau induksi tetap dijalankan. Diperlukan program bauran energi yang terdiri dari beberapa sumber energi tersebut," kata Iwa.

Meski demikian, semua kembali lagi pada komitmen dan konsistensi pemerintah menyangkut kegagalan program konversi tersebut.

"Memang dikhawatirkan program tidak berjalan karena terjadi pergantian penguasa. Tapi saya percaya bahwa apabila hal ini menjadi program dengan argumen yang kuat, serta pelaksanaannya sederhana, maka saya yakin bisa dilaksanakan dengan baik," lanjut Iwa.


Hide Ads