Transisi ke energi baru terbarukan menjadi tantangan di berbagai sektor untuk mencapai target Net Zero Emission 2060. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan beragam tantangan transisi energi di sektor ketenagalistrikan.
Darmawan menyampaikan transisi energi sudah tentu membutuhkan biaya besar. Ia mengatakan setidaknya butuh investasi sekitar US$ 500-US$ 600 miliar atau sekitar Rp 7-9 ribu triliun rupiah untuk melakukan transisi energi bersih di sektor kelistrikan.
International Energy Agency (IEA), kata Darmawan, mengungkapkan biaya bukan tantangan satu-satunya dalam hal penyediaan energi baru terbarukan (EBT). Masalah harga dapat ditekan seiring terciptanya kompetisi pasar yang sehat dan transparan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini ketika kita melakukan lelang, kompetisinya sangat sehat, transparan. Hal itu membuat harga turun, dan kita tidak akan kehabisan tambahan pendanaan untuk investasi energi baru terbarukan," jelas Darmawan dalam acara SOE International Conference di Nusa Dua, Bali, Selasa (18/10/2022).
Darmawan mengungkapkan IEA sudah mewanti-wanti, tantangan terbesar dari transisi energi adalah aset terdampar (stranded asset). Sebagai contoh, penghentian operasional PLTU berbasis energi batu bara akan membuat fasilitas itu tak terpakai dan permintaan batu bara merosot signifikan.
"Kami memiliki aset yang berkaitan dengan bahan bakar fosil dalam jumlah besar, lalu bagaimana kami mengatasi (masalah stranded asset) itu. Dan kami memiliki kontrak pembelian listrik dengan berbagai tanggung jawab keuangan," tutur Darmawan.
Untuk menghadapi tantangan itu, lanjut Darmawan, PLN melakukan sejumlah inisiatif. Salah satunya, yakni menerapkan pensiun dini terhadap sejumlah PLTU yang berbasis batu bara lebih cepat sehingga tidak menambah jumlah dan nilai aset terdampar. Darmawan menuturkan dalam menjalankan inisiatif tersebut, PLN berkolaborasi dengan berbagai pihak.
"Saat ini, kami tengah bernegosiasi dengan komunitas global, rekanan di Amerika, rekanan di Eropa, investasi global. Kami berbicara mekanisme transisi energi 6,7 gigawatt (PLTU) batu bara dalam program ini. Kita berbicara soal pengurangan emisi karbon. Selain itu, sejumlah kerja sama pasokan batu bara akan berakhir dan kami tidak akan memperpanjangnya, dan sejumlah PLTU akan dipensiunkan lebih cepat," papar Darmawan.
PLN juga memberdayakan beragam teknologi untuk mendapatkan energi yang lebih bersih. Salah satunya teknologi co-firing di menggunakan hidrogen, amonia, hingga energi biomassa sebagai pengganti batu bara dan energi fosil lainnya.
"Kami akan memperluas implementasi (co-firing) ini. Untuk co-firing biomassa kami sudah mengetes di 33 PLTU. Hasilnya mengagumkan, dan kami akan memperluas sistem ini. Di 2025 12 juta metrik ton biomassa akan menjadi bagian dari campuran energi, menggantikan batu bara," urai Darmawan.
Ia menambahkan penggunaan energi alternatif seperti biomassa juga menghadirkan multiplier effect. Sebab, untuk mendapatkan pasokan sumber energi tersebut, PLN akan menggandeng berbagai pihak, termasuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
"Ratusan ribu rakyat akan terlibat dalam hal ini, BUMDes. Jadi ini bukan hanya peralihan energi kotor dari batu bara ke energi bersih, tapi kita berbicara soal pembukaan lapangan pekerjaan, penambahan nilai, dan menghadirkan kesejahteraan di tempat-tempat yang kita sasar," ujar Darmawan.
Baca terus berita terbaru dari SOE International Conference 2022 di sini!
(ega/ega)