Perlunya Kolaborasi buat Genjot Investasi Migas di Masa Transisi Energi

IOG 2022

Perlunya Kolaborasi buat Genjot Investasi Migas di Masa Transisi Energi

Sukma Nur Fitriana - detikFinance
Jumat, 18 Nov 2022 21:50 WIB
Ilustrasi sektor migas
Foto: Ilustrasi Migas (Fauzan Kamil/Infografis detikcom)
Jakarta -

Indonesia diyakini masih membutuhkan minyak dan gas bumi (migas) dalam beberapa tahun ke depan sejalan dengan transisi energi yang tengah terjadi. Namun demikian tidak mudah untuk memenuhi kebutuhan energi, apalagi realisasi produksi migas cenderung stagnan bahkan menurun.

Perlu ada usaha ekstra serta kolaborasi dari semua pihak untuk menjamin upaya peningkatan produksi bisa berjalan secara berkelanjutan.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi (DEN) Djoko Siswanto mengatakan migas masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan, sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) maupun Kebijakan Energi Nasional (KEN).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Djoko menuturkan kini bauran EBT masih berkisar 12%, sementara tahun 2025 targetnya bisa mencapai 23%. Jika pada tahun tersebut EBT belum siap, maka migas masih sangat diperlukan.

"Khususnya untuk transisi kita juga sekarang masih pakai BBM transportasi dan lainnya, sehingga minyak dan gas masih diperlukan untuk kurangi impor untuk memenuhi kilang kita. Kapasitas eksisting 1 juta, 50% masih impor jadi industri hulu migas masih sangat penting," tegas Djoko dalam keterangan tertulis, Kamis (18/11/2022).

ADVERTISEMENT

Djoko mengungkapkan dominasi energi fosil, baik itu migas maupun batu bara tidak bisa dihindari. Tetapi, di sisi lain untuk mengantisipasi isu lingkungan dari penggunaan energi fosil yang menghasilkan emisi, diperlukan teknologi untuk menekannya.

Praktisi Migas yang juga mantan Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), Hadi Ismoyo menyatakan dengan tingginya permintaan migas, maka kolaborasi untuk menciptakan iklim investasi di sektor hulu migas tidak bisa ditawar. Sebab, permintaan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi migas yang dinilai penting.

"Kolaborasi ini sangat penting antara semua stakeholder agar tidak kehilangan momentum," kata Hadi.

Ia melanjutkan kolaborasi stakeholder bisa dilakukan melalui 3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022 (IOG 2022). Melalui kegiatan itu, kata Hadi, harus disambut positif dan dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku usaha migas. Harapannya, dari kolaborasi tersebut maka menghasilkan suatu gagasan atau ide baru yang konkret untuk diterapkan.

"Membuat regulasi yang konkret dalam bentuk Permen atau Kepmen yang langsung bisa ditindaklanjuti segera, untuk meningkatkan produksi nasional," ujarnya.

Klik halaman selanjutnya >>>

3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022

Ada tiga bagian besar konsep yang akan dibawakan dalam acara IOG 2022, yaitu Economic Recovery, Energy Security, dan Energy Transition. Hal itu tentu sejalan dengan program-program dan target pemerintah Indonesia yang lebih berkelanjutan. Konsep tersebut merupakan kesinambungan dari dua acara IOG sebelumnya.

Dengan target mencapai 10.000 peserta online dan 1000 peserta offline, dan lebih dari 120 pembicara, maka IOG boleh dikatakan sebagai satu poros penting bagi industri migas dalam usaha untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas 12 BSCFD di tahun 2030.

Menurut Hadi, kondisi saat ini semakin membuktikan eksistensi migas masih sangat diperlukan. Dimulai dari negara-negara eropa lebih dulu mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan menjalar ke belahan dunia lainnya, saat ini ancaman krisis energi sejak adanya pandemi COVID-19 serta perang Rusia-Ukraina terus membayangi dan sudah ada didepan mata.

Fenomena krisis energi global saat ini dipicu oleh ketegangan geopolitik, kecenderungan peningkatan tensi geopolitik ini nantinya akan berdampak terhadap lonjakan harga migas dan memicu kembali terjadinya krisis energi global.

Hadi kembali menegaskan peran migas masih sangat penting dalam jangka panjang. Sebab menurutnya, peran EBT hanya mampu menggantikan fungsi fosil untuk sektor power atau tenaga listrik.

"Sedangkan sektor petrokimia dan turunannya, belum tergantikan dalam waktu yang lama," tegas Hadi.

Ia berharap IOG yang diikuti stakeholder di industri hulu migas bisa menghasilkan kesimpulan konkret, dalam bentuk regulasi yang bisa dijalankan dan berdampak bagi kinerja produksi migas nasional.

"Kemudian membentuk organization capability yang tajam di tingkat SKK Migas dan KKKS untuk mengerjakan dan memonitor semua langkah-langkah konkrit peningkatan produksi dengan timeline dan budget dan resources mapping-nya," harapnya.

Menurut Hadi, dalam kegiatan tersebut bisa disinggung mengenai revisi Undang-Undang Migas. Sebab revisi UU Migas sangat penting untuk segera dibahas dan diterbitkan. Hal itu akan jadi faktor kunci juga demi tercapainya target produksi migas tahun 2030 mendatang.

"Jadi cantolannya bisa lebih kuat bahwa 1 juta barel 12 BSCFD gas ini program nasional, urgent sekali (revisi UU Migas)," tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai ada beberapa kunci untuk meningkatkan gairan iklim investasi hulu migas. Hal itu bisa dilakukan dengan perbaikan kebijakan fiskal, bagi hasil, keterbukaan data migas, dan berupa perizinan serta isu transisi energi.Tapi menurutnya, yang paling penting saat ini adalah fundamental kepastian hukum.

"Ini sebenarnya menjadi inti masalah investasi migas di Indonesia yaitu revisi UU Migas yang tidak kunjung selesai. Padahal, jika kendala diatas bisa dimasukkan ke dalam revisi UU Migas maka bisa sangat menarik bagi investor termasuk posisi SKK Migas ke depannya," jelas Mamit.

Momen IOG Convention menurut Mamit bisa menjadi salah satu upaya untuk menarik investor. Apalagi IOG punya misi khusus untuk mensukseskan target 1 juta BPH dan 12 BSCFD pada tahun 2030.

"IOG harus bisa menjadi media penengah sekaligus antara kepentingan pemerintah dan pengusaha. IOG harus mampu memberikan rekomendasi kepada pemerintah," tandasnya.


Hide Ads