Perjalanan kasus tumpahan minyak Montara berlangsung cukup panjang. Kasus bermula pada 21 Agustus 2009, saat anjungan minyak di lapangan Montara milik PTT Exploration and Production (PTTEP) yang ada di Australia meledak.
PTTEP sendiri merupakan perusahaan minyak dan gas dari Thailand. Dalam insiden ini, diperkirakan lebih dari 23 juta liter minyak mengalir ke Laut Timor hingga mencemari pesisir Indonesia, khususnya NTT.
Saking lamanya penyelesaian kasus ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku sampai kesal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu juga saya terus terang saya kesal. Karena harusnya selesai sebelum zaman Jokowi. Tapi sudahlah, kita nggak usah cari yang lalu," kata Luhut dalam konferensi pers di gedung Kemenko Marves, Kamis (24/11/2022).
Lantas, bagaimana perjalanan lengkap kasus tumpahan minyak Montara? Dalam catatan detikcom, Ketua Satgas Penanganan Kasus Tumpahan Minyak Montara, Purbaya Yudhi Sadewa pernah menjelaskan kronologi mulai dari terjadinya tumpahan minyak hingga kasus ini berlangsung lama.
"Pertama, pencemaran Montara tahun 2009 di laut Timor terjadi di Perairan Australia dan merembes masuk secara luar biasanya ke perairan Laut Timor Indonesia," kata Purbaya pada tahun 2019.
Dia menjelaskan, luasan tumpahan minyak Montara pada 2009 itu diperkirakan mencapai paling kurang 90 ribu kilometer persegi. Ada beberapa pihak yang terlibat atas kejadian tersebut, yaitu PTTEP, Australian Maritime Safety Authority (AMSA), perusahaan Halliburton dan Sea Drill Norway.
Berikutnya pada 2010 telah dilakukan Nota Kesepahaman antara Dubes Australia Greg Moriarry dan Freddy Numberri. Itu merupakan titik awal penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara. Sayangnya, itu tidak pernah ditindaklanjuti oleh Australia maupun Indonesia.
"Hal ini tidak pernah ditindaklanjuti baik oleh Australia dan Indonesia sehingga masih terkatung-katung ," ujarnya saat itu.
Permasalahannya tak cukup berkutat di tumpahan minyak. Purbaya mengatakan, AMSA juga menggunakan bubuk kimia Dispersant jenis Corexit 9872 A dan lain-lain yang sangat beracun. Mereka menyemprotkan bubuk kimia ini untuk tenggelamkan sisa tumpahan minyak Montara ke dalam dasar Laut Timor.
"Akibatnya, 1 kali 24 jam banyak sekali ikan besar dan kecil mati termasuk di kawasan kita (Indonesia)," terangnya.
Bersambung ke halaman sealnjutnya.
Simak juga Video: 30.000 Galon BBM Tumpah di Pantai Wisata Bahama
Terkait itu, Kementerian Perhubungan melalui Dirjen Perhubungan Laut diminta untuk segera menghentikan seluruh kegiatan penanggulangan kasus pencemaran Laut Timor di Indonesia itu.
Seiring berjalannya upaya penyelesaian kasus ini yang tak mendapat itikad baik dari pemerintah Australia, pemerintah Indonesia melalui Tim Montara Task Force bakal melakukan pertemuan secara langsung pada 20-27 April 2019 ini di Canberra, Australia.
Sejak saat itu kasus tumpahan minyak Montara kembali diproses. Ada 15 ribu lebih petani rumput laut dan nelayan asal dua kabupaten di NTT melakukan gugatan class action di Pengadilan Federal Australia di Sydney.
Gugatan tersebut pun dimenangkan pada Maret 2021, dan PTTEP dinyatakan bersalah. Namun, hingga setahun setelah gugatan itu dimenangkan nelayan dan petani rumput laut korban tumpahan minyak Montara tak kunjung mendapatkan ganti rugi.
Dalam putusan pengadilan perusahaan diberikan dua opsi keputusan berupa membayar ganti rugi ataupun membuka ruang negosiasi dengan para petani korban tumpahan minyak Montara.
Namun, Purbaya mengaku dalam mediasi yang dilakukan perusahaan tidak melakukannya sepenuh hati dan terus-menerus berkelit untuk membayar ganti rugi kepada para petani rumput dan nelayan NTT.
Hingga pada akhirnya persoalan ganti rugi terhadap nelayan menemui kata sepakat. PTTEP menyatakan setuju memberikan ganti rugi sebesar AUD 192,5 juta atau US$ 129 juta. Jika dirupiahkan jumlahnya setara Rp 2,02 triliun (kurs Rp 10.500/ AUD 1).
Jumlah ini sebenarnya jauh dari estimasi kerugian yang mencapai AUD 500-600 juta, atau sekitar Rp 5,35 triliun- Rp 6,42 triliun. Namun, Purbaya menyebut saat ini pihaknya fokus mendapatkan yang ada, untuk kemudian mengejar yang lebih besar.
Rencananya, masing-masing nelayan yang terdampak akan memperoleh AUD 6 ribu-AUD 7 ribu. Jumlah ini setara dengan Rp 63 juta-Rp 73,5 juta. Diperkirakan ada lebih dari 15 ribu nelayan yang terdampak kasus tumpahan minyak Montara.
"Kalau dari angka yang ada per nelayan dapat AUD 6 ribu-AUD 7 ribu, kira-kurang lebih ya," ujar Purbaya.
Purbaya mengatakan, masih ada harapan agar jumlah ganti rugi yang diterima nelayan bisa bertambah. Oleh karena itu pihaknya masih negosiasi dengan pengacara terkait besaran bayaran mereka.
"Kita usahakan naik lagi karena masih ada negosiasi dengan lawyer jangan sampai fee mereka gede juga, masih ada harapan," pungkasnya.
(dna/dna)