Benarkah Ada Campur Tangan AS Cs di Balik IMF Minta RI Ekspor Nikel Lagi?

Benarkah Ada Campur Tangan AS Cs di Balik IMF Minta RI Ekspor Nikel Lagi?

Anisa Indraini - detikFinance
Selasa, 04 Jul 2023 10:30 WIB
Direktorat Jendral Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM RI bersama Polri didesak untuk memindak tegas dan memberantas pertambangan illegal di seluruh wilayah Indonesia.
Foto: dok. Polri

Asal tahu saja, Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia saat ini. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2020, cadangan nikel Indonesia mencapai 72 juta ton nikel atau 52% dari total cadangan nikel dunia yang sebesar 139.419.000 ton. Mengungguli Australia yang hanya 15%, Brazil 8%, Rusia 5% dan negara lain 20% (Kuba, Filipina, China, Kanada).

Oleh karena itu, keberanian pemerintah Jokowi yang melarang ekspor mineral mentah seperti bijih nikel berpotensi mengguncang industri dunia. Pasalnya nikel saat ini sedang jadi rebutan di tengah geliat industri kendaraan listrik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sudah pasti negara industri besar terganggu pasokan bahan baku bijih nikel. Akan berdampak kinerja industri yang bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi dan berakibat meningkatnya pengangguran sehingga sebagai donatur besar dalam IMF akan coba digunakan untuk menyarankan buka keran ekspor mineral mentah kepada pemerintah Indonesia," kata Yusri.

Yusri yakin Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi akan menolak saran IMF itu. Pasalnya, pelonggaran larangan ekspor bijih nikel cs menurutnya memang bertentangan dengan konstitusi dalam negeri.

ADVERTISEMENT

"Mengingat kita tidak ada berutang dengan IMF, sumber daya mineral adalah salah satu modal utama sumber dana pembangunan nasional, seharusnya Presiden Jokowi tidak perlu tunduk atas saran IMF," imbuhnya.

Senada, Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibowo juga mencium ada agenda tersembunyi IMF dalam rekomendasi tersebut. Terlebih sebelum adanya rekomendasi itu sudah ada beberapa rentetan keberatan atau protes dari negara-negara Uni Eropa hingga Indonesia digugat ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

"Tentu terbuka peluang IMF memiliki agenda tersembunyi di balik rekomendasinya, seperti misalnya karena ada tekanan dari negara tertentu yang dirugikan karena kebijakan hilirisasi nikel. Menjadi naif bahkan jika kita menganggap IMF tidak memiliki kepentingan," kata Yusuf.

Terlepas dari itu, Indonesia dinilai tidak boleh anti begitu saja dengan rekomendasi IMF tersebut. Ia paham hilirisasi menjadi strategi besar baru pemerintah untuk reindustrialisasi serta membawa Indonesia memiliki nilai tambah tinggi, namun ada juga konsekuensi negatif yang sering diabaikan.

"Ketergantungan yang tinggi pada investasi asing terutama dari smelter asal Tiongkok tidak memberikan kontribusi signifikan pada pendapatan negara atau memperdalam struktur industri. Selain itu, repatriasi pendapatan ekspor ke perusahaan induk melemahkan dampak pada nilai tukar valuta asing dan stabilitas rupiah," beber Yusuf.

"Jadi menurut saya rekomendasi IMF ini sebaiknya disikapi dengan jernih dan rasional. Meski kebijakan hilirisasi nikel kental dengan nasionalisme ekonomi, namun rekomendasi IMF ini tidak bisa serta merta disebut upaya untuk mengintervensi kedaulatan negara," pungkasnya.


(aid/rrd)

Hide Ads