Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan pihaknya turut berkomitmen dalam mewujudkan visi pemerintah mencapai target target Net Zero Emission (NZE)/nol emisi karbon. Dalam hal ini ini, Pertamina juga melakukan berbagai upaya salah satunya dengan mendorong transisi energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) yang lebih bersih.
Nicke menjelaskan dalam bisnis minyak, Pertamina sedang menjadikan kilang-kilang minyaknya ramah lingkungan sehingga dapat memproduksi produk yang ramah lingkungan juga.
"Kami akan mengubah keuntungan kami menjadi kilang ramah lingkungan, sehingga kami dapat meningkatkan dan mempercepat bio energi kami dan kedua, pendapatan terintegrasi dengan bisnis petrokimia sehingga ketika permintaan bahan bakar menurun kami memiliki dua produk bio aset," ucapnya dalam CEO Fireside Chat di ASEAN Indo-Pacific Forum (AIPF) 2023 beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nicke menambahkan, Indonesia juga memiliki potensi energi ramah lingkungan yang besar, mulai dari energi panas bumi hingga nikel untuk baterai listrik. Adapun potensi energi ini perlu dikelola dengan baik sehingga dapat mewujudkan transisi energi.
"Kami juga memiliki potensi besar seperti di Georgia Mall Hydro, kami juga memiliki cadangan terbesar serta produksi nikel terbesar kedua di dunia, kami juga menyimpan 400 giga ton C02 untuk CSSUS dan NBS. Ini semua harus dikelola secara paralel agar dapat mewujudkan transisi energi dan mengurangi emisi karbon," papar Nicke.
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Power & NRE (PT Pertamina Power Indonesia) Dannif Danusaputro mengungkapkan energi bersih yang mudah bukan hal yang mustahil di Indonesia. Pihaknya pun telah melakukan benchmarking dengan Timur Tengah yang mampu menghadirkan energi solar dengan harga kurang dari 1 sen.
"Ada proyek itu. Jadi jawabannya (energi bersih yang murah) adalah mungkin, ada bukti nyata. Tapi memang proyek itu sekala mega proyek," ungkap Dannif.
Dannif pun optimistis energi bersih bisa diakses dengan harga yang murah bagi masyarakat. Namun, hal ini perlu kerja sama di bidang pembiayaan dan teknologi. Oleh sebab itu, ajang seperti AIPF dinilai mampu membuka lebih banyak potensi untuk menggaet peluang kemitraan di bidang pembiayaan dan teknologi tersebut.
"Kita tidak bisa lakukan sendiri. Juga partnernya itu tidak hanya lokal, tapi juga regional dan internasional," jelas Dannif.
"Energy transisi ini tidak hanya membutuhkan funding (pembiayaan) biaya yang sangat besar, tapi perlu partnership yang memiliki teknologi karena itu sangat penting sekali," pungkasnya.
(anl/ega)