Penggunaan bioenergi atau energi terbarukan yang berasal dari bahan baku organik terus digaungkan di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.
Namun usai euforia B30, apakah Indonesia benar-benar bakal melompat ke B100? Ya jika ditanya ada keinginan tentu saja pengin, namun berani bayar mahal?
Menurut literasi Kementerian ESDM, B30 merupakan program pemerintah yang mewajibkan pencampuran 30% biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak jenis solar, yang menghasilkan produk Biosolar B30.
Program ini diberlakukan mulai Januari 2020 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Sementara B100 adalah istilah untuk biodiesel yang merupakan bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi.
Proses transesterifikasi adalah proses pemindahan alkohol dari ester, namun yang digunakan sebagai katalis (suatu zat yang digunakan untuk mempercepat laju reaksi) adalah alkohol atau methanol.
Baca juga: SISKA Bikin Petani Sawit Tak Lagi 'Di-PHP' |
Proses pembuatan biodiesel umumnya menggunakan reaksi metanolisis (transesterifikasi dengan metanol) yaitu reaksi antara minyak nabati dengan metanol dibantu katalis basa (NaOH, KOH, atau sodium methylate) untuk menghasilkan campuran ester metil asam lemak dengan produk ikutan gliserol.
Menurut Santosa, CEO Astra Agro Lestari, penggunaan sawit untuk biodiesel B35 diperkirakan bakal meningkat hingga 2 juta ton ke depannya.
"Namun kalau pertanyaannya, apakah kita bisa bikin dari B35 lalu lanjut ke B100? Jawabannya, bisa! Namun biayanya yang jadi soal," ujarnya saat berbincang dengan media di Bandung, Jawa Barat Jumat (16/2/2024).
"(Sebagai perbandingan) saya pernah uji coba produksi 100 liter E100 (bioethanol) untuk (pameran otomotif) GIIAS. Ini sengaja kita lakukan untuk riset, dan berhasil. Tetapi itu saja jika dihitung rata-rata, biaya per liternya Rp 15 juta," Santosa melanjutkan.
Jadi secara teknis, Indonesia mampu membuat biodiesel B100 ataupun E100. Tetapi soal biaya ini yang menjadi PR besar, berapa harga jual ke konsumen? Ataupun akan jadi seberapa bengkak subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah?
Selain biodiesel, pemerintah sejatinya juga telah mengatur BBN jenis lainnya yakni bioetanol yang dikenal dengan istilah E100 dan minyak nabati murni atau dengan istilah O100.
Untuk pemakaiannya, biodiesel dan bioetanol akan dicampurkan dengan bahan bakar fosil pada persentase tertentu. Dalam hal ini, untuk biodiesel dicampurkan dengan solar, sedangkan bioetanol dicampurkan dengan bensin.
(ash/das)