Menteri Keuangan AS, Janet Yellen mengatakan bahwa transisi energi global khususnya dari perekonomian konvensional menuju ekonomi rendah karbon memerlukan dana besar. Jumlahnya sekitar US$ 3 triliun atau Rp 48.774 triliun (kurs Rp 16.258) per tahun sampai 2025.
Di Belém Brasil, Sabtu (27/7), Yellen menjelaskan bahwa target net-zero emission kini masih menjadi prioritas pemerintahan Joe Biden-Kamala Harris. Ia menegaskan bahwa mengabaikan perubahan iklim bukan hanya berdampak buruk bagi lingkungan, tapi juga untuk perekonomian.
"Mengabaikan upaya mengatasi perubahan iklim dan hilangnya alam serta keanekaragaman hayati bukan hanya merupakan kebijakan lingkungan yang buruk. Ini adalah kebijakan ekonomi yang buruk," kata Yellen dikutip dari Reuters, Senin (29/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yellen lantas menjelaskan bahwa negara-negara maju tengah membobilisasi pendanaan iklim untuk negara-negara berkembang totalnya mencapai US$ 116 miliar atau Rp 1.885 triliun pada 2022, 40% dana tersebut berasal dari bank pembangunan multilateral (MDB). Berbagai bank besar di dunia, termasuk World Bank dan Inter-American Development Bank, pun sedang menetapkan target baru.
Meski memerlukan anggaran besar, pendanaan untuk upaya transisi energi adalah peluang ekonomi terbesar abad ke-21. Program tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan dan lebih inklusif, termasuk bagi negara-negara yang kekurangan investasi.
Di sisi lain, Yellen mengatakan bahwa bank sepatutnya mengkatalisasi model bisnis baru untuk memobilisasi investasi yang mendukung alam dan keanekaragaman hayati sekaligus memperkuat perekonomian dan mempercepat transisi iklim.
Yellen bertemu dengan menteri keuangan dari negara-negara Amazon dan Presiden International Development Bank (IDB) Ilan Goldfajn. Dia menegaskan AS berkomitmen terhadap platform Amazonia Forever milik IDB yang memberikan pendekatan holistik terhadap pembangunan berkelanjutan di kawasan tersebut melalui pembiayaan, penyiapan proyek, dan kolaborasi.
(ara/ara)