Bakal Ada Tim Khusus 'Pelototi' Penerapan BBM Campur Minyak Sawit 40%

Heri Purnomo - detikFinance
Kamis, 30 Jan 2025 22:38 WIB
Ilustrasi.Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Pemerintah akan menerjunkan tim mengawasi implementasi penerapan BBM dengan campuran minyak sawit 40% atau B40 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2025.

Tim tersebut terdiri dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), serta EBTKE.

"Minggu depan kita turunkan pengawas untuk nanti mengawasi implementasi di lapangan," ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) Eniya Listiani Dewi di Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Tim tersebut akan mengawasi terkait dengan volume, kandungan air, warna dan densitas B40. Hal ini dilakukan agar penerapan B40 sesuai dengan yang diinginkan.

Adapun pengawasan tersebut bukan merupakan hasil temuan adanya ketidaksesuaian melainkan hanya adanya kekhawatiran terkait dengan implementasi yang tidak sesuai.

"Yang kita khawatirkan saja. Karena B40 itu tidak ada insentif. Jadi kita lebih antisipasi ya. Memperkirakan, wah ini karena nggak ada insentif, jangan-jangan cuma diletakin doang. Jadi kita antisipasi," terang Eniya.

Sebelumnya, Eniya pernah menjelaskan program mandatori BBN ini dapat mengurangi impor BBM, sehingga menghemat devisa.

"Penghematan devisa untuk B40 sebesar Rp 147,5 triliun, sedangkan untuk B35 dapat menghemat Rp122,98 triliun. Dengan demikian terjadi penghematan devisa sekitar Rp 25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar," kata Eniya dalam keterangannya, dikutip Kamis (16/1/2025).

Pada tahun 2025, pemerintah menetapkan alokasi B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter (kl) biodiesel dengan rincian, 7,55 juta kl diperuntukkan bagi Public Service Obligation atau PSO. Sementara 8,07 juta kl dialokasikan untuk non-PSO.

"Kita melihat harga insentif itu kan dihitung dari selisih harga solar dan selisih harga biodieselnya sendiri. Jadi ada harganya biodiesel yang tinggi ini diberikan insentif. Nah dari sini kalau untuk yang non-PSO kan dibebankan kepada konsumen saat ini kalau yang non-PSO (harganya) itu sudah sekitar Rp 13 ribuan nanti bertambah sekitar antara Rp 1.500-2.000," terang Eniya dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia.

Eniya menjelaskan pemerintah memastikan kebijakan tersebut tidak mempengaruhi inflasi, meskipun dibebankan kepada konsumen. Pihaknya telah melakukan studi sebelum menerbitkan mandatori tersebut. Hasilnya, para ahli memperkirakan kontribusinya hanya sekitar 0,2% ke inflasi.

"Ini kita sebelum kita melakukan mandatori kemarin studinya sudah selesai dan dalam kajian kita melihat bahwa tidak mempengaruhi inflasi. Jadi, pengaruhnya hanya sekitar 0,2%. Jadi saya rasa ini menurut berbagai ahli tidak mempengaruhi inflasi," imbuh Eniya.




(hns/hns)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork