Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama IBC Toto Nugroho. Kondisi ini membuat China berupaya untuk memindahkan basis produksi industri baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) miliknya ke RI. Dengan demikian, ekspor bisa dilakukan dari Indonesia.
"Pemerintah Amerika Serikat memberikan tarif yang cukup signifikan, untuk produk-produk dari China. Itu sekarang China sangat agresif untuk bisa masuk ke Indonesia, untuk menjadikan basis kita, memberikan solusi baterai EV ataupun baterai storage ke Amerika," kata Toto, dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XII DPR RI di Senayan. Jakarta, Senin (17/2/2025).
Toto menjelaskan, produk-produk China sendiri dikenakan tarif impor sekitar 40% untuk produk baterai EV. Sedangkan Indonesia sendiri diperkirakan hanya sekitar 10%. Hal ini membuat jalur impor dari Indonesia lebih menjanjikan.
"Jadi ini suatu keunggulan yang kita dapatkan kalau kita menjadikan basis baterai production bukan hanya untuk Indonesia, tapi kebutuhan untuk global termasuk untuk Amerika Serikat," ujarnya.
Di samping itu, IBC sendiri juga telah menyusun roadmap pengembangan industri baterai. Toto mengatakan, salah satu aspek paling penting ialah mengawal agar regulasi untuk pengembangan industri baterai dikawal secara end-to-end, dari hulu ke hilir.
"Tidak bisa dari baterai selnya saja dibuat regulasi, tapi waktu kita proses hilirisasi dari hulu ke hilir itu pun harus diberikan suatu regulasi supaya memudahkan baik investasi ataupun pengembangan kita sendiri," kata dia.
Tata kelola dan pengaturan untuk aktivitas ekspor-impor baterai menurutnya juga perlu mendapat perhatian. Hal ini khususnya bagaimana agar produk baterai RI bisa lebih kompetitif. Selanjutnya, juga bagaimana tata kelola daur ulang baterai ke depannya.
(shc/kil)