Bahlil Sebut Amman Mineral Belum Ajukan Izin Perpanjangan Ekspor Konsentrat

Bahlil Sebut Amman Mineral Belum Ajukan Izin Perpanjangan Ekspor Konsentrat

Heri Purnomo - detikFinance
Jumat, 21 Feb 2025 20:30 WIB
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia/Foto: Heri Purnomo/detikcom
Jakarta -

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan perusahaan tambang yang mengajukan relaksasi izin ekspor konsentrat tembaga hanya PT Freeport Indonesia (PTFI). Sementara, PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) belum mengajukan izin ekspor.

"Belum, sampai dengan sekarang yang mengajukan Freeport," kata Bahlil saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (21/2/2025).

Sebelumnya, PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) meminta fleksibilitas ekspor konsentrat tembaga hingga Desember 2025. Permintaan ini diajukan seiring proses commissioning smelter yang berjalan lebih lambat dari rencana, sehingga ada sisa konsentrat yang idle alias belum bisa diolah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Presiden Direktur Amman Mineral, Rachmat Makkasau mengatakan saat ini kapasitas operasional smelter yang dibangun oleh anak usahanya, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) baru 48%. Ia menyebut smelter yang berlokasi di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki kapasitas pengolahan 900.000 ton konsentrat tembaga per tahun, dengan target produksi 220.000 ton katoda tembaga.

Selain itu, smelter yang memulai proses commissioning sejak Juni 2024 ini juga mampu menghasilkan produk sampingan seperti 830.000 ton asam sulfat, 18 ton emas batangan, 55 ton perak, dan 77 ton selenium.

ADVERTISEMENT

"Semenjak Juni 2024 commissioning sudah berjalan. Proses commissioning berjalan lambat karena kami melakukan berbagai upaya untuk memastikan tidak terjadi hal yang kita tidak inginkan," kata Rachmat dalam rapat kerja dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (19/2).

Lebih lanjut, Rachmat menjelaskan kehati-hatian perusahaan dalam mengoperasikan smelter ini dikarenakan kompleksitas teknologi yang digunakan. Selain itu pihaknya juga masih belum handal dalam menggunakan teknologi ini sehingga rawan terjadi kendala.

"Jadi kami memakai teknologi double-bash dari Yanggu, China. Kemudian kita combine dengan beberapa teknologi provider. Di sana juga ada Merin, dan juga Metsun, atau Ototec," terang Rachmat.

"Karena ini adalah teknologi yang baru yang memang sangat berbeda dengan kemampuan kami sebagai penambang. Saat ini operasi smelter ada pada kisaran sekitar 48%," ucapnya lagi.

(ara/ara)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads