Menang di WTO, Biodiesel RI Makin Banjir di Uni Eropa

Aulia Damayanti - detikFinance
Kamis, 28 Agu 2025 16:54 WIB
Foto: Aulia Damayanti
Jakarta -

Indonesia berhasil menang melawan Uni Eropa (UE) terkait sengketa penerapan bea imbalan/countervailing duties terhadap impor produk biodiesel dari Indonesia, atau dikenal dengan Sengketa D5618. Penerapan bea masuk biodiesel Indonesia dilakukan UE, karena mereka menilai harga produk tersebut dijual terlalu murah.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) memprediksi dengan kemenangan ini, ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa akan stabil tinggi atau meningkat. Menurut Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono, terbukti ekspor biodiesel ke UE tetap mengalami peningkatan meski di tengah sengketa yang bergulir sejak 2019 itu.

"Tapi juga ternyata ya kalau memang kita kompetitif, dikenakan instrumen seperti anti dumping ataupun bea masuk, itu belum tentu otomatis menurunkan kinerja (ekspor). Ini terbukti di 2021-2022 ekspor biodiesel kita masih cukup baik. Tapi di 2023-2024 kembali mengalami tekanan," kata dia dalam konferensi pers di Kemendag, Jakarta, Kamis (28/8/2025).

"Pengalaman peningkatan (ekspor) di 2018, di 2019 juga agak sedikit berurutan juga karena faktor UE tadi. Kemudian naik sampai bahkan di 2023 naiknya cukup tajam. Jadi ke UE tetap tumbuh 6,7% dengan rata-rata ekspor sekitar US$ 319,7 juta," tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Djatmiko mengungkap kronologi mengapa Indonesia digugat oleh UE di WTO. EU menilai harga produk biodiesel Indonesia terlalu murah atau di bawah harga pasaran. UE menuduh kondisi itu terjadi karena adanya subsidi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Namun, tuduhan itu tidak terbukti.

"Pemerintah Indonesia juga tidak terbukti memberikan perintah arahan guidance direction apapun namanya kepada pelaku usaha untuk atau mewajibkan menjual bahan-bahan biodiesel di bawah harga wajib," lanjutnya.

Selain itu, kebijakan bea keluar dan pungutan ekspor CPO Indonesia tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk subsidi. Lebih lanjut, UE juga gagal membuktikan adanya keterkaitan antara impor dari Indonesia dengan ancaman kerugian material yang dialami produsen biodiesel UE.

"Jadinya EU gak bisa meyakinkan sekaligus membuktikan bahwa ada causal yang tidak ada hubungan sebab dan akibat. Nah dari hal-hal tersebut tindak lanjutnya adalah atau implikasinya adalah bahwa Uni Eropa wajib melakukan penyesuaian. Nah penyesuaiannya apa? Itu mencabut instrumen bea masuk imbalan yang dikenakan atas produk biodiesel asal Indonesia," terangnya.

Dalam paparannya, Djatmiko mencatat industri biodiesel nasional saat ini telah berkembang pesat dengan dukungan 26 produsen biodiesel yang tersebar di 12 provinsi. Kapasitas produksi terus meningkat, di mana pada tahun 2024 produksi biodiesel diperkirakan mencapai 13,9 juta kiloliter.

Konsumsi biodiesel juga terus bertumbuh. Pada tahun 2024, konsumsi diproyeksikan mencapai 13 juta kiloliter. Pemerintah menargetkan konsumsi domestik dapat ditingkatkan hingga mencapai 15,6 juta kiloliter pada tahun 2025.

Selain memberikan kontribusi terhadap energi terbarukan, industri biodiesel juga mendorong penyerapan tenaga kerja. Proyeksi penyerapan tenaga kerja industri biodiesel diperkirakan mencapai 1,3 juta orang, baik di sektor off-farm maupun sekitar 1,5 juta orang di sektor on-farm.

Ada beberapa eksportir utama biodiesel Indonesia adalah PT Ciliandra Perkasa, PT Intibenua Perkasatama dan PT Musim Mas (Musim Mas Group), PT Pelita Agung Agrindustri dan PT Permata Hijau Palm Oleo (Permata Group), serta PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia (Wilmar Group).

Tonton juga video "Inovasi Minyak Goreng Bekas Jadi Biodiesel-Bahan Bakar Pesawat" di sini:




(ada/fdl)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork