"Kan modusnya macam-macam. Dulu kirimnya manual pakai kurir. Kemudian uang tunai dikirimkan lewat kapal jasa pengiriman," ujarnya dalam acara IndoSterling Forum bertajuk Jauhi Jerat Utang Fintech Ilegal di Conclave Coworking, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
"Kalau sekarang teknologi ada pengiriman uang cara seperti itu, tidak menutup kemungkinan itu bisa dilakukan. Kita belum menemukan tapi ini potensi fasilitas perekonomian yang bisa dimanfaatkan pelaku," tambahnya.
Dia menganalogikan, bisa saja pelaku terorisme di Indonesia berlaku sebagai peminjam di fintech lending ilegal. Kemudian si pemberi dana terorisme berlaku sebagai penyedia platform atau pun investornya. Modus seperti itu bisa dilakukan tanpa tercium di fintech ilegal.
"Sulit terdeteksi kalau fintech-nya ilegal. Kita tidak tahu data identitas lender-nya, borower-nya sumber datanya. Kalau terdaftarkan kita tahu profil orang-orang di belakangnya," tambahnya.
Menurut Bimo modus itu tidak akan bisa dilakukan di fintech yang legal atau sudah terdaftar di OJK. Sebab data dari sumber dana hingga penerima dana sudah diketahui.
Untuk mencegah agar modus itu tidak terjadi, menurut Bimo perlu dibuat landasan hukum yang jelas setara undang-undang (UU). Sebab selama ini regulasi tentang fintech terpecah-pecah antar kementerian dan lembaga.
"Mereka nggak harmonis (regulasi tentang fintech). Perusahaannya izin ke Kemenkumham, aplikasinya ke Kemenkominfo, kegiatan bisnis ke OJK, aplikasinya lewat Google," terang Bimo.
"Tidak ada satu pun regulasi yang mewajibkan, contoh kalau mau bergerak di bidang fintech wajib izin OJL baru bisa masukin aplikasi ke Google atau izin ke Kominfo, kan belum ada aturannya. Karena nggak ada aturan ya apa yang bisa kementerian dan lembaga yang bisa dilakukan," tambahnya.
(das/eds)