Uang Kripto Halal atau Haram, Ya?

Uang Kripto Halal atau Haram, Ya?

Trio Hamdani - detikFinance
Minggu, 20 Jun 2021 09:18 WIB
uang kripto
Foto: Getty Images/da-kuk
Jakarta -

Masih terjadi perdebatan mengenai halal dan haram uang kripto (cryptocurrency). Ada kalangan yang menilai halal, adapula yang menganggap haram. Hal itu pun disoroti oleh Founder Islamic Law Firm (ILF) Yenny Wahid.

"Kaum Muslim di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia masih menghadapi pro-kontra dari segi kehalalan dan keharamannya," kata dia dalam webinar, kemarin Sabtu (19/6/2021).

Ada pihak yang menganggap aset kripto haram karena mengandung gharar, yakni ketidakpastian dalam transaksi, di mana mata uang digital ini volatilitasnya tinggi karena harganya bisa naik dan turun secara drastis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, lanjut Yenny, ada yang berpendapat justru uang kripto menghilangkan gharar itu sendiri.

"Karena tidak ada lagi middle man atau orang di tengah-tengah. Jadi transaksi ini transparan, bisa dilihat. Beli Bitcoin nggak perlu bayar ke bank. Kalau uang fiat atau uang kertas biasa atau uang yang kita simpan di bank, kita bertransaksi dipotong, kita ambil uang dipotong, kita naruh uang di bank saja dipotong. Kalau cryptocurrency tidak dipotong. Jadi bagi sebagian alim ini malah gharar-nya hilang," jelas Yenny Wahid.

ADVERTISEMENT

Jadi, uang kripto dijelaskannya justru terbebas dari riba dibandingkan dengan uang fiat dan bank konvensional karena berdasarkan sistem blockchain, di mana transaksi uang kripto tanpa perantara.

Tapi yang berpandangan bahwa uang kripto ini haram memiliki argumen lain, yakni koin digital tersebut tidak ada underlying asset atau aset keuangan yang menjadi dasar pembentuk harga.

"Satu keharaman ada yang mengatakan ini keharaman dari crypto transaction adalah disalahgunakan, karena karakternya yang tidak bisa diketahui siapa yang menggunakannya maka cryptocurrency sering disalahgunakan untuk melakukan transaksi-transaksi ilegal, membeli senjata untuk perang, membeli narkoba dan lain sebagainya lewat yang namanya dark internet. Jadi ada yang mengatakan haram jelas kalau dari sisi itu," ujarnya.

Lalu ada argumen yang membantah bahwa transaksi gelap juga bisa pakai uang biasa. Oleh karena itu, dijelaskannya aset kripto tidak bisa dihukumi secara tunggal. Melalui diskusi yang diselenggarakan pihaknya, diharapkan bisa didapatkan kesimpulan mengenai halal atau haram uang kripto.

"Bagi kami di ILF ini menjadi suatu keharusan bagi kita untuk bisa membimbing umat agar bisa kemudian bisa melakukan transaksi secara halal, mereka hidup secara syar'i tetap tetapi juga bisa memikirkan nuansa realita kehidupan," tambah Yenny Wahid.

Terlepas dari halal dan haram, perlu diingat bahwa uang kripto bukanlah alat pembayaran. Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Bukan Alat pembayaran yang sah

Uang kripto seperti bitcoin hingga dogecoin tak diakui sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Ada beberapa alasan yang menyebabkan aset digital tersebut hanya diakui sebagai komoditas.

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan, pertama sudah jelas dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang disebutkan alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah rupiah.

"Jadi satu-satunya alat pembayaran yang sah adalah rupiah sehingga aset kripto bukan alat pembayaran, bukan uang," kata dia dalam webinar.

Lalu, jika menelisik Undang-undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, pada pasal 1 ayat 2 disebutkan definisi komoditi adalah semua barang, jasa, hak dan kepentingan lainnya, dan setiap derivatif dari komoditi, yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya.

Lanjut dia, aset kripto lebih pas disebut sebagai komoditi. Sebab, karakteristik komoditi harganya fluktuatif, sama seperti koin digital yang harganya naik dan turun.

"Mau emas, mau perak, apapun kalau barang tambang itu pasti fluktuatif. Emas pernah naik tinggi hampir mencapai Rp 1 juta per gram tahun lalu tiba-tiba bisa turun juga menjadi Rp 700-800 ribu 2 bulan berikutnya. Jadi sifat dari komoditi itu adalah fluktuatif, kopi juga begitu, apapun itu yang namanya komoditi sifatnya fluktuatif," jelasnya.

"Jadi jelas aset kripto di Indonesia dikategorikan sebagai komoditi bukan sebagai alat pembayaran," lanjut Wisnu.

Tak hanya itu, dia menjelaskan uang kripto tidak bisa diintervensi pemerintah. Jadi aset digital ini muncul dari teknologi blockchain yang diperdagangkan secara bebas tanpa intervensi pemerintah, maupun campur tangan orang lain.

"Jadi ini murni harga terbentuk antara demand dan supply atau permintaan dan penawaran. Ini terjadi di tingkat nasional dan global. Jadi tidak ada intervensi," tambahnya.


Hide Ads