Pinjaman online (pinjol) menjadi pilihan masyarakat untuk mendapatkan dana darurat karena prosesnya yang cepat. Tanpa disadari mereka telah terjebak dalam lingkaran utang di luar batas kemampuan hingga tidak bisa mengembalikannya.
Lantas, bagaimana cara menghindari jebakan pinjol khususnya untuk masyarakat miskin?
Profesor dari Monash University Arif Perdana mengatakan masalah yang paling mendesak untuk menyelesaikan permasalahan itu adalah dengan meningkatkan literasi keuangan. Saat ini pemahaman masyarakat akan literasi keuangan cenderung masih rendah.
"Masalahnya bukan di teknologinya, tapi masalahnya di psikologi orangnya. Oleh karena itu, masalah paling mendesak yang perlu kita selesaikan adalah bagaimana meningkatkan literasi keuangan," kata Arif dalam Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) ke-12 di Grand Hyatt Bali, Kamis (7/12/2023).
Baca juga: Ada Ancaman Pinjol Ilegal Jelang Nataru |
Literasi keuangan merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap orang agar dapat merencanakan keuangannya dengan baik. Semakin baik literasi keuangan, maka semakin rendah pula kemungkinan masyarakat terjebak pada penipuan hingga pinjol.
Sebelum mengajukan pinjaman, masyarakat juga harus sadar bahwa pinjaman itu perlu dikembalikan bahkan dengan jumlah yang lebih besar. Oleh karena itu, pinjaman yang diajukan harus benar-benar untuk keperluan mendesak alias bukan untuk konsumtif.
"Jika mereka mendapat pinjaman dari pihak luar, mereka perlu memahami bahwa mereka perlu membayar bunganya, mereka perlu membayar bunganya. Bunganya tidak rendah, mungkin tinggi atau sangat tinggi. Jadi perlu kita pahami bahwa kita perlu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hal ini untuk meningkatkan literasi keuangan mereka, tutur Arif.
Selain literasi keuangan, masyarakat juga harus sadar akan privasi dan keamanan siber. Hal itu untuk menghindari jebakan utang dari pinjol.
"Kita perlu memastikan bahwa mereka mengetahui cara menggunakan aplikasi keuangan digital dengan benar, karena selain literasi keuangan, mereka juga perlu menyadari risiko dunia maya," tambahnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pembiayaan fintech peer to peer (P2P) lending alias pinjaman online (pinjol) mencapai Rp 58,05 triliun per Oktober 2023. Jumlah itu tumbuh 17,66% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).
"Pada fintech peer to peer lending, outstanding pembiayaan pada Oktober 2023 terus melanjutkan peningkatan menjadi 17,66% year on year dengan nominal sebesar Rp 58,05 triliun," kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan OJK Agusman dalam konferensi virtual.
Pertumbuhan pembiayaan itu diiringi dengan peningkatan kredit macet atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) mencapai 2,89% pada Oktober 2023, lebih tinggi sedikit dibandingkan September 2023 yang berada di level 2,82%. Artinya, orang yang tak bayar utang pinjol bertambah banyak.
Meski meningkat, kondisi itu disebut masih terjaga di bawah angka waspada atau threshold yang dipakai OJK sebagai acuan pengawasan dari TWP90 yakni 5%. Angka itu adalah ukuran tingkat kelalaian penyelesaian kewajiban yang ada pada perjanjian pinjaman di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo.
(rir/rrd)