Indonesia Fintech Society (IFSoc) meramalkan badai startup teknologi alias tech winter masih akan terjadi di 2024 mendatang. Kondisi ini didorong oleh ketidakpastian global yang masih menghantui di tahun depan.
Steering Committee IFSoc Eddi Danusaputro menjelaskan, tech winter besar kemungkinan akan berlanjut 2024 di Indonesia, didorong oleh ketegangan geopolitik, kenaikan suku bunga, hingga sentimen tahun politik. Ketidakpastian tersebut membuat investor menjadi menghindari risiko investasi ke perusahaan teknologi
"Di 2024 masih akan alami tech winter. Selama rezim suku bunga masih relatif tinggi dan opportunity cost lebih menarik di aset kelas lain, ini masih akan menjadi tech winter. Di Indonesia tambahan lagi adalah tahun politik, jadi masih banyak yang wait and see," katanya, dalam Press Briefing Catatan Akhir Tahun 2023 Industri Fintech dan Ekonomi Digital, lewat saluran telekonferensi, Jumat (29/12/2023).
Eddi mengatakan, sejak 2020 s.d 2023 ini perkembangan startup teknologi di dalam negeri terus berfluktuasi. Pandemi melanda di 2020, lalu di 2021 kondisinya melemah, dan di 2022 sempat bangkit kembali. Namun pada 2023 ini kondisinya anjlok karena kondisi geopolitik global.
Selain itu, kondisi suku bunga juga sangat berperan penting. Dalam hal ini, suku bunga tinggi akan membuat investor luar cenderung berpikir dua kali untuk menanamkan uangnya di startup yang punya risiko tinggi ketimbang di aset lainnya yang lebih aman.
"Untuk mereka lirik aset kelas startup yang bisa beri return tapi riskan, mereka mikir dua kali. Tingkat suku bunga tinggi pasti mempengaruhi minat untuk memberi investasi ke aset riskan. Jadi, mereka konsepnya masih wait and see," jelasnya.
Meski demikian, menurutnya ekosistem investasi startup di Indonesia masih menggeliat. Namun kebanyakan dari investor ini menyasar startup dengan level tahap awal atau early stage karena investasi dan risikonya yang terbilang lebih kecil.
"Dan karena early stage, potential return-nya lebih tinggi karena kan relatif murah dan perjalanannya masih panjang dari startup tersebut," imbuhnya.
Selain itu, berbeda dengan para investor asing yang cenderung wait and see, para investor lokal terlihat lebih aktif. Terutama, investor-investor pelat merah (BUMN) yang mendapat mandat investasi di pasar Indonesia.
"Jadi 2024 masih akan ada cukup investasi, selectively. Dan selectively-nya bagaimana? Sekarang bukan lagi jamannya venture capital mencari valuation. Valuation udah 4-5 tahun lalu. Startup dituntut bukan cuma naik valuasinya tetapi juga profitability," terang Eddi.
Eddi mengatakan, kini matriks-matriks yang mendapat sorotan dari para investor ini ialah sustainability atau keberlanjutan dan harus bisa menguntungkan. Ujung-ujungnya, bisa berujung pada tujuan Initial Public Offering (IPO) hingga MNA demi menggiring ke ekosistem yang lebih sehat.
"Itu yang kita lihat di 2024 dan itu yang diharapkan dari pemerintah adalah supaya pemerintah bisa memberikan alternatif pembiayaan. Mungkin susah buat startup pinjam ke bank karena belum profitable, tidak ada kolateral dan sebagainya. Mungkin kita harus melihat apakah dia bisa IPO dari papan akselerasi atau mengandalkan dari fund-fund BUMN yang aktif saat ini," pungkasnya.
(shc/das)