Ini Alasan Indonesia Belum Punya Pabrik Komponen Ponsel

Ini Alasan Indonesia Belum Punya Pabrik Komponen Ponsel

- detikFinance
Senin, 07 Jul 2014 11:26 WIB
Jakarta - Telepon seluler pintar atau smartphone 4G yang diproduksi di dalam negeri belum sepenuhnya memakai komponen Indonesia. Sebanyak 70% komponen di dalamnya masih diimpor dari Tiongkok dan Malaysia.

Direktur PT Tata Sarana Mandiri (TSM) Sam Ali mengatakan untuk kondisi dalam waktu dekat memang sulit mengharapkan produsen komponen smartphone. Sebab membutuhkan investasi yang sangat mahal.

Akan tetapi ada berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk merealisasikannya. Ini bisa dimulai dengan memperbanyak produsen perakitan ponsel yang sekarang baru ada enam perusahaan dengan kapasitas produksi sekitar 7 juta unit per tahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau produksi lokal itu tinggi, otomatis kita akan bisa meminta supply change kita untuk membuka pabrik di indonesia. jadi impor dulu, nanti bisa diajak mereka ke sini. kan kalau ada yang rusak bisa langsung bisa diperbaiki di sini," ungkap Sam seperti dikutip detikFinance, Senin (7/7/2014)

Ia membicarakan konsep seperti industri otomotif, dimulai dari produsen perakitan dan kemudian berlanjut sampai ke produsen komponen.

"Jadi sama seperti otomotif. kan dimulai dari impor, assembly, kalau kebutuhan naik mereka bangun di sini. Jadi bertahap," jelasnya.

Mahalnya investasi untuk pabrik komponen, menurut Sam dapat diukur dari teknologinya. Ia menilai sulit bagi perusahaan lokal menghadirkan teknologi secanggih di negara lain. Kemudian juga dari sisi pengembangan komponen yang diproduksi.

"Cost untuk biaya pabrik itu lebih besar dari pada kita impor komponen," ujarnya.

Di samping itu ada berbagai risiko yang dihadapi. Terutama kemungkinan investasi yang dikeluarkan dalam jumlah besar tidak balik modal.

"Betul karena untuk investasi capex di manufacturing dan desain itu besar. Desain saja minimun 6 bulan. Jadi desain 6 bulan, sedangkan lifestyle-nya handphone sangat pendek. jadi tidak bisa besar, kalau dialokasikan RnD (Research and Development) terlalu lama kan biayanya besar," papar Sam.β€Ž

(mkl/ang)

Hide Ads