"Selama ini, Inalum bisa survive karena untuk energy cost dapat harga murah. Di dalam perusahaan ada pembangkit listrik besar, yang harganya sekitar 3 sen dolar AS. Maka next Inalum kita minta invest di Kaltara," kata Menperin Airlangga, di Kementerian Perindustrian, Jl Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (22/9/2016).
Di Kaltara terdapat sungai yang besar, dan ekspansi dilakukan untuk mendekati sumber energi, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kaltara. Menperin Airlangga mendorong adanya ekspansi di daerah tersebut berbentuk smelter alumina.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inalum merupakan salah satu perusahaan yang kembali berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) setelah sebelumnya dikuasai Jepang. Dalam proyek kerja sama Indonesia-Jepang, Inalum mengembangkan PLTA di Kabupaten Toba Samosir dan pabrik peleburan aluminium di Kuala Tanjung, Sumatera Utara.
Menperin memastikan, hilirisasi dapat cepat tercapai jika industri mendapatkan harga energi murah, khususnya listrik dan gas. Pasalnya, industri merupakan sektor lahap energi baik untuk bahan bakar maupun produksi.
"Mendapatkan harga murah, juga karena dekat sumber energi," ujar Airlangga.
Sebelumnya, Presiden Direktur PT Inalum Winardi Sunoto menyampaikan, Inalum tengah menargetkan peningkatan kapasitas produksi hingga 1 juta ton per tahun pada 2025. "Saat ini, kapasitas produksi Inalum mencapai 265 ribu ton aluminium ingot per tahun dan akan ditingkatkan menjadi 500 ribu ton per tahun pada 2020," ujarnya usai menemui Menperin Airlangga, beberapa waktu lalu.
Untuk mewujudkan target itu, kata Winardi, perusahaan akan meningkatkan kapasitas produksi di Kuala Tanjung menjadi 300 ribu ton. Serta membangun smelter baru di lokasi yang sama dengan kapasitas produksi 200 ribu ton per tahun, sehingga menjadi 500 ribu ton.
"Nilai investasinya mencapai US$ 800 juta untuk ekspansi dan pembangunan smelter baru tersebut," tuturnya.
Setelah diambil alih pemerintah, Inalum kini memaksimalkan produksi aluminium untuk kebutuhan dalam negeri. Sementara ekspor dilakukan ketika terdapat produksi yang tidak terserap.
"Kalau dulu 60 persen harus ekspor ke Jepang, sekarang kita utamakan dalam negeri dan jika ada yang tidak terserap bisa diekspor ke berbagai negara," kata Winardi. (dna/dna)